18 November 2022

Ngeludruk TKDN Ala Cak Mustofa

Cak Mustofa

TKDN bukan hal menarik bagi semua orang, meskipun ini merupakan bentuk keberpihakan negara kepada rakyatnya sebagai salah satu cara meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, memberdayakan usaha kecil dan mikro, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada tenaga kerja Indonesia. Lebih tidak menariknya lagi, TKDN memberikan tambahan pekerjaan baru bagi orang tertentu namun tidak dibarengi dengan insentif atau tambahan penghasilan. Oleh karena tidak menariknya itulah maka tulisan ini pun tidak tertarik membahasnya. Lalu mengapa dijadikan bagian dalam judul tulisan? Cak Mustofa lah biangnya😄.

Dengan membawa tekanan batin yang mendalam😂, Bapak Mustofa, S.Sos. yang lebih girang disapa Cak Mus atau Cak Mustofa memaksakan diri membahas salah satu materi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Tekanan batin itu jelas nyata tersampaikan ketika beliau kerap menyindir kepada pelaksana kegiatan karena hanya mengalokasikan waktu satu hari untuk membahas TKDN yang menurut pengakuannya butuh waktu paling tidak dua hari penuh.

Cak Mustofa bersama peserta Bimtek TKDN
Adalah di hari Jumat, hari penuh berkah di tanggal 18 November 2022, Cak Mustofa diundang untuk memberikan bimbingan perhitungan TKDN bagi pegawai di Bagian Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Daerah Kota Bontang. Hiruk-pikuk TKDN mulai menyeruak sejak Presiden mengeluarkan Instruksi Nomor 2 Tahun 2022 pada tanggal 30 Maret 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Koperasi dalam Rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 

Cak Mustofa bersama peserta Bimtek TKDN
Sebelum mengeluarkan Instruksi tersebut, dalam Arahan Presiden kepada Menteri, Kepala Lembaga, Kepala Daerah dan Badan Usaha Milik Negara tentang Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Bali pada tanggal 25 Maret 2022, Presiden melontarkan ujaran "Bodoh sekali kita klo nggak melakukan ini" jika tidak konsisten membeli barang yang diproduksi pabrik-pabrik kita, industri-industri kita, UKM-UKM kita. Meskipun agak sarkastis, ujaran Presiden tersebut hendaknya dijadikan cermin prilaku bagi sebagian aparatur pemerintah agar tidak menggunakan uang rakyat untuk memperkaya orang asing.

Bahkan ujaran "bodoh sekali kita" dalam maskud yang sama beberapa kali diulang Presiden dalam berbagai kesempatan, misalnya dalam pengarahan Presiden pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2022 di Istana Negara pada tanggal 22 Juni 2022, Presiden Jokowi mengatakan:

"Bodoh sekali kita. Maaf. Kita ini pinter-pinter, tapi kalau cara seperti ini, bodoh sekali kita. Saya harus ngomong apa adanya,"

Agar tidak larut dalam kebodohan sebagaimana maksud Presiden di atas, maka Cak Mustofa berkenan hadir di Balikpapan membawa segepok ilmu TKDN untuk dibagi-bagikan kepada peserta bimbingan teknis. Setiap narasumber dalam sebuah kegiatan wajib memiliki daya pesona tersendiri agar tidak menjadi beban peserta, terlebih menjadi cemoohan apalagi sasaran perundungan di media sosial, ataupun bahan gosipan peserta yang alih-alih mendapatkan berkah ilmu, malah menabung dosa gratisan yang bahkan tidak diminati para pemburu barang gratisan. Ternyata Cak Mustofa pun memiliki pesonanya sendiri dengan gaya khas ala Surabaya, daerah asalnya. Jika Cak Kartolo dikenal sebagai Sang Legenda asal Surabaya sukses mementaskan Ludruk dalam iringan syair Jula Juli Guyonan, maka Cak Mustofa pada hari ini pun sukses mementaskan Ludruk dalam syair TKDN yang heboh itu. 

Cak Mustofa bersama Kepala UKPBJ Kota Bontang

Meskipun syair TKDN tidak bisa dituntaskan dalam tempo sehari, tapi gaya Cak Mustofa cukup sukses menyampaikan pesan agar tidak berhenti sampai di sini. Masih bersedia diundang di kesempatan lain😄.

Jika masih ada yang bertanya, apa itu TKDN, maka di penutup ini penulis jelaskan bahwa TKDN adalah lagu lama yang tidak diminati di masa lalu dan kini diungkit dan diaransemen kembali karena ada kisah-kasih yang belum tandas😄.

Balikpapan, 18 November 2022

23 Oktober 2022

SYARAT MENAMBAH SYARAT

Tanggal 24 Juni 2022 saya menulis di blog ini dengan judul JUSTIFIKASI: Sebuah Pembenaran Menambah Syarat. Tulisan tersebut merupakan serpihan pikiran pribadi dalam menyikapi kecenderungan penambahan persyaratan dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa pemerintah. Serpihan pikiran yang masih berserakan tersebut kiranya perlu ditata ulang agar alurnya lebih sistematis sehingga dapat mewakili gagasan penulis dengan meminimalkan distorsi dari peraturan dan pedoman yang ada. Tulisan ini dihadirkan untuk memenuhi maksud tersebut.

Sebenarnya silang pendapat pada penambahan syarat pada proses pemilihan penyedia barang/jasa pemerintah tidak terletak pada perbedaan pemahaman boleh atau tidaknya menambah syarat. Setelah membaca ketentuan terkait penambahan syarat dalam Peraturan Presiden maupun Peraturan LKPP, semua akan sepakat bahwa terdapat ketentuan yang melarang penambahan syarat. Misalnya dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 pada pasal 44 ayat (9) dinyatakan:

“Pokja Pemilihan dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang diskriminatif dan tidak objektif.”

Ketentuan tersebut sangat tegas dan gamblang menyatakan larangan penambahan persyaratan kualifikasi. Namun pula secara implisit penegasan larangan tersebut tidak mutlak karena pada bagian berikutnya disebutkan hal larangan yang dimaksud yaitu persyaratan yang diskriminatif dan tidak objektif. Dengan demikian dapat dipahami bahwa masih ada peluang menambah persyaratan jika sifatnya tidak diskriminatif dan objektif. Masalah kemudian muncul dan berpotensi terjadi silang pendapat ketika akan menentukan perlu atau tidak menambah syarat beserta alasan rasional untuk menambah persyaratan yang tidak diskriminatif dan objektif.  Dengan demikian, untuk menambah persyaratan dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa, maka ada syarat yang harus dipenuhi yang dalam tulisan ini dijadikan judul yaitu Syarat Menambah Syarat.

Larangan bagi Pokja Pemilihan

Pada pasal 44 ayat (9) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 di atas disebutkan bahwa larangan itu ditujukan kepada Pokja Pemilihan. Bagi Pelaku Pengadaan seharusnya sudah cukup memahami mengapa larangan itu ditujukan kepada Pokja Pemilihan. Karena mungkin ada yang kemudian secara ‘liar’ berpendapat bahwa jika larangan itu berlaku bagi Pokja Pemilihan, maka PPK, PA atau KPA boleh saja menambah persyaratan penyedia. Sepintas terlihat logis, tapi pendapat seperti ini sangat menyesatkan. Pokja Pemilihan, PPK, PA atau KPA memiliki ‘wilayah kerja’ masing-masing. Wilayah kerja Pokja Pemilihan adalah pada tahap pemilihan (persiapan dan pelaksanaan). Dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 pada Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa salah satu tugas Pokja Pemilihan adalah melaksanakan persiapan dan pelaksanaan pemilihan Penyedia kecuali E-purchasing dan Pengadaan Langsung. Penetapan persyaratan kualifikasi sebagaimana dimaksud pada pasal 44 ayat (9) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dilakukan pada persiapan pemilihan.

Uraian tugas Pokja Pemilihan dijelaskan dalam Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021. Pada Lampiran I (Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Lainnya/Jasa Konsultansi Nonkonstruksi Melalui Penyedia) disebutkan bahwa tugas Pokja Pemilihan dalam melakukan persiapan pemilihan melalui Penyedia meliputi:

a.  Reviu dokumen persiapan pengadaan;
b. Penetapan metode pemilihan Penyedia;
c.  Penetapan metode Kualifikasi;
d.  Penetapan persyaratan Penyedia;
e.  Penetapan metode evaluasi penawaran;
f.   Penetapan metode penyampaian dokumen penawaran;
g.  Penyusunan dan penetapan jadwal pemilihan; dan
h.  Penyusunan Dokumen Pemilihan.
Sedangkan pada Lampiran II (Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia) dan Lampiran III (Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun melalui Penyedia), selain tugas sebagaimana pada huruf a sampai h di atas, masih ada tugas berikutnya pada huruf i yaitu penetapan jaminan penawaran dan jaminan sanggah banding.

Jika ada yang berpendapat bahwa jika PPK menambahkan persyaratan pemilihan pada dokumen persiapan pengadaan, maka dianggap tidak melanggar peraturan karena tidak dilakukan oleh Pokja Pemilihan. Untuk ‘pendapat sesat’ seperti ini perlu dikembalikan ke ‘jalan yang benar’ dengan memberikan pencerahan bahwa:

1.  Dokumen persiapan pengadaan dari PPK yang diterima oleh Pokja Pemilihan wajib direviu sebelum ditetapkan menjadi persyaratan pemilihan. Jika Pokja Pemilihan menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku, maka wajib disampaikan kepada PPK untuk diperbaiki. Pokja Pemilihan tidak dapat melanjutkan ke tahap pelaksanaan pemilihan sebelum diperbaiki karena salah satu penyebab tender dinyatakan gagal adalah apabila ditemukan kesalahan dalam Dokumen Pemilihan atau Dokumen Pemilihan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya dan aturan turunannya. Artinya bahwa jika kesalahan tersebut sudah ditemukan pada saat reviu dokumen persiapan pengadaan, maka tidak selayaknya dilanjutkan ke pelaksanaan pemilihan sebelum diperbaiki.

2.   Syarat penyedia barang/jasa secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu syarat yang harus dipenuhi pada tahap (1) pemilihan dan (2) pelaksanaan pekerjaan setelah berkontrak. Syarat pemilihan ditetapkan oleh Pokja Pemilihan dalam Dokumen Pemilihan yang terdiri dari syarat kualifikasi dan syarat teknis. Jika ada syarat dalam dokumen persiapan pengadaan namun tidak dicantumkan dalam Dokumen Pemilihan, maka tidak termasuk syarat pemilihan sehingga peserta pemilihan tidak perlu memenuhinya pada tahap pemilihan.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa penetapan syarat pemilihan adalah tugas Pokja Pemilihan. PPK hanya sebatas mengusulkan dengan berpedoman pada ketentuan dan peraturan yang berlaku. Jika pada saat reviu ditemukan usulan syarat yang tidak sesuai ketentuan, maka Pokja Pemilihan mengusulkan perbaikan.

Larangan Menambah Persyaratan Pemilihan Penyedia dalam Peraturan LKPP

Sebelum lebih lanjut membahas tentang syarat menambah syarat, perlu diperhatikan kembali Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 pada pasal 44 ayat (9). Mengapa dalam ketentuan tersebut hanya disebutkan larangan penambahan persyaratan kualifikasi? Sedangkan syarat pemilihan terdiri dari syarat kualifikasi dan syarat teknis. Ternyata jika kita mencermati Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tidak ditemukan pasal mengenai persyaratan penyedia. Larangan menambah persyaratan muncul pada Pasal 44 yang mengatur tentang metode kualifikasi pada pelaksanaan pemilihan. Persyaratan kualifikasi dan teknis secara lengkap diuraikan dalam Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021.

Terkait larangan penambahan persyaratan kualifikasi, pada lampiran I, II dan III Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 dinyatakan sebagai berikut:

“Pokja Pemilihan dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang diskriminatif dan tidak objektif yang dapat menghambat dan membatasi keikutsertaan Pelaku Usaha dalam proses pemilihan.”

Di sini ada tambahan penjelasan bahwa yang dimaksud persyaratan kualifikasi yang diskriminatif dan tidak objektif yaitu yang dapat menghambat dan membatasi keikutsertaan Pelaku Usaha dalam proses pemilihan.

Dalam beberapa kesempatan Dr. H. Fahrurrazi, M.Si. pernah mengatakan bahwa pada prinsipnya persyaratan penyedia itu bersifat diskriminatif. Agar sifat diskriminatif tersebut menjadi ‘halal’  maka persyaratan penyedia harus ada dasar aturannya. Pernyataan Fahrurrazi ini dapat dipahami dengan argumentasi bahwa proses pemilihan merupakan aktivitas memilih yang konsekuensinya adalah ada yang tidak terpilih. Jika diskriminatif diartikan sebagai sifat membeda-bedakan, maka aktivitas memilih adalah membedakan yang mana akan dipilih dan yang mana tidak. Namun istilah diskriminatif yang dimaksudkan dalam larangan penambahan persyaratan lebih dipersempit sebagai persyaratan yang secara substansial tidak menunjukkan kemampuan kualifikasi dan teknis penyedia dalam melaksanakan pekerjaan. Persyaratan yang diskriminatif dalam pengertian ini dapat menyebabkan ada penyedia yang secara kualifikasi dan teknis mampu melaksanakan pekerjaan namun tidak lulus evaluasi karena ‘terganjal’ dengan syarat yang diskriminatif tadi. Inilah yang dimaksud menghambat dan membatasi keikutsertaan Pelaku Usaha dalam proses pemilihan sebagaimana dalam Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021.

Di atas telah dijelaskan bahwa penambahan persyaratan masih dimungkinkan jika sifatnya tidak diskriminatif dan objektif. Ketentuan penambahan persyaratan kualifikasi dan persyaratan teknis disebutkan beberapa kali dalam Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 sebagai berikut:

1.       Lampiran II sub judul 3.5.5 Penambahan Persyaratan Kualifikasi dan Persyaratan Teknis:

Dalam hal diperlukan, terhadap persyaratan kualifikasi Penyedia dan persyaratan teknis dapat dilakukan penambahan persyaratan. Penambahan persyaratan dilakukan pada setiap paket pekerjaan. Penambahan persyaratan kualifikasi Penyedia dan persyaratan teknis tidak bertentangan dengan prinsip pengadaan, etika pengadaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.     Lampiran III sub judul 3.4.3 Penambahan Persyaratan Kualifikasi:

Dalam hal diperlukan, terhadap persyaratan kualifikasi Penyedia dapat dilakukan penambahan persyaratan. Penambahan persyaratan dilakukan pada setiap paket pekerjaan. Penambahan persyaratan kualifikasi Penyedia tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.     Lampiran III sub judul 3.5.3 Penambahan Persyaratan Teknis:

Dalam hal diperlukan, terhadap persyaratan teknis Penyedia dapat dilakukan penambahan persyaratan. Penambahan persyaratan dilakukan pada setiap paket pekerjaan. Penambahan persyaratan kualifikasi penyedia dan persyaratan teknis tidak bertentangan dengan prinsip pengadaan, etika pengadaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari tiga kutipan terkait penambahan persyaratan kualifikasi maupun teknis di atas, ada tiga bagian penting yang perlu diperhatikan untuk menambah persyaratan yaitu:

a.     Dalam hal diperlukan
b.     Dilakukan pada setiap paket pekerjaan
c.     Tidak bertentangan dengan prinsip pengadaan, etika pengadaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan

Selanjutnya pada Model Dokumen Pemilihan yang merupakan lampiran Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021, ketentuan penambahan persyaratan diuraikan dalam Bab III (Instruksi Kepada Penyedia). Pada model dokumen pemilihan Pengadaan Pekerjaan Konstruksi (Lampiran V) disebutkan bahwa dokumen lain yang disyaratkan (harus dengan persetujuan pejabat pimpinan tinggi madya untuk K/L atau pejabat pimpinan tinggi pratama untuk PD) sebagaimana tercantum dalam LDP, dengan ketentuan:

(1)    Kriteria evaluasi diuraikan secara rinci dan terukur;
(2)    Persyaratan harus mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat dan jangka waktu pemenuhan persyaratan.

Sedangkan pada model dokumen pemilihan Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi Rancang dan Bangun (Lampiran VI), ditambahkan penegasan sebagaimana telah disebutkan dalam Lampiran II dan III sehingga diuraikan menjadi tiga ketentuan sebagai berikut:

(1)    Kriteria evaluasi diuraikan secara rinci dan terukur;
(2)    Persyaratan harus mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat dan jangka waktu pemenuhan persyaratan; dan

(3)    Tidak bertentangan dengan prinsip pengadaan, etika pengadaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penegasan Larangan Penambahan Syarat

Pada tanggal 1 Maret 2022, Kepala LKPP mengeluarkan surat edaran nomor 5 Tahun 2022 tentang Penegasan Larangan Penambahan Syarat Kualifikasi Penyedia dan Syarat Teknis dalam Proses Pemilihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Disebutkan bahwa maksud surat edaran tersebut adalah untuk memberi penegasan terkait larangan penambahan persyaratan kualifikasi penyedia dan persyaratan teknis yang diskriminatif dan tidak obyektif dalam proses pemilihan guna mewujudkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang lebih transparan, terbuka dan kompetitif.

Dalam surat edaran tersebut diingatkan bahwa Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 mengatur Persyaratan Kualifikasi Penyedia meliputi persyaratan Kualifikasi Administrasi/Legalitas dan Kualifikasi Teknis, sehingga persyaratan kualifikasi penyedia terkait keuangan tidak diperkenankan untuk ditambahkan. Larangan ini bersifat mutlak sehingga tidak ada pengecualian ataupun keadaan khusus yang membolehkannya.

Sebagaimana telah dipahami sebelumnya bahwa meskipun ada pernyataan larangan penambahan syarat kualifikasi maupun teknis, namun masih diberi peluang menambah syarat dengan syarat tertentu pula. Tentunya peluang ini tidak berlaku untuk syarat keuangan seperti ditegaskan di atas. Dalam surat edaran Kepala LKPP nomor 5 Tahun 2022 dijelaskan bahwa:

1.   Penambahan persyaratan kualifikasi penyedia dan/atau persyaratan teknis dapat dilakukan apabila hal tersebut diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden.
2.     Dalam hal tidak diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden, maka penambahan persyaratan kualifikasi penyedia dan/atau persyaratan teknis dapat dilakukan untuk mencapai teknis output pekerjaan berdasarkan kajian atau justifikasi pihak yang berkompeten di bidangnya.
3.    Penambahan persyaratan dilakukan dengan tetap berpedoman pada prinsip dan etika pengadaan.

Syarat Menambah Syarat

Setelah membaca ketentuan larangan penambahan syarat kualifikasi maupun teknis dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa beserta syarat tertentu yang harus dipenuhi agar dapat menambahkan persyaratan, maka dasar untuk menambah syarat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

  1. Dapat dilakukan apabila diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden,
  2. Dalam hal tidak diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden, maka penambahan persyaratan kualifikasi penyedia dan/atau persyaratan teknis dapat dilakukan untuk mencapai teknis output pekerjaan berdasarkan kajian atau justifikasi pihak yang berkompeten di bidangnya.

Penting menjadi perhatian bahwa dalam surat edaran Kepala LKPP nomor 5 Tahun 2022 menekankan dasar penambahan syarat adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden. Tidak dengan peraturan lainnya. Namun kemudian ditambahkan bahwa dalam hal tidak diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden, maka penambahan persyaratan kualifikasi penyedia dan/atau persyaratan teknis dapat dilakukan berdasarkan kajian atau justifikasi.

Penjelasan dalam surat edaran tersebut memberi posisi istimewa untuk Kajian/Justifikasi karena disandingkan dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Bahkan peraturan menteri atau lembaga pun tidak dapat menjadi dasar penambahan syarat. Karena posisi istimewa tersebut, maka Kajian/Justifikasi harus dibuat oleh pihak yang berkompeten di bidangnya. Dan diingatkan bahwa dalam hal masih terdapat Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan/atau pengaturan lainnya yang mengatur Penambahan Persyaratan Penyedia yang diskriminatif dan tidak obyektif dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, agar dilakukan perubahan terhadap Peraturan dimaksud.

Dengan berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 dan Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 serta memerhatikan Surat Edaran Kepala LKPP nomor 5 Tahun 2022, maka dapat diuraikan ketentuan penambahan syarat pemilihan penyedia barang/jasa sebagai berikut:

  1. Syarat dapat ditambahkan apabila diperlukan. Penambahan syarat harus objektif untuk kebutuhan pelaksanaan pekerjaan. Harus dipastikan bahwa syarat yang sudah ada sebagaimana dalam Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 belum cukup dan pekerjaan hanya bisa berhasil jika ditambahkan syarat pemilihan.
  2. Syarat dapat ditambahkan apabila ada dasarnya dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden;
  3. Apabila tidak ada dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden, maka dibuat berdasarkan kajian atau justifikasi pihak yang berkompeten di bidangnya;
  4. Dilakukan pada setiap paket pekerjaan. Pemenuhan syarat menambah syarat harus dilakukan pada setiap paket pekerjaan yang memerlukan penambahan syarat.

Kajian atau justifikasi sebagaimana pada angka 3 di atas harus dibuat oleh pihak yang berkompeten di bidangnya yaitu orang yang memiliki otoritas dan basis keilmuan sesuai bidang pekerjaan agar dapat menguraikan secara ilmiah alasan penambahan syarat yang meyakinkan bahwa:

1.    Ada teknis output pekerjaan yang hanya dapat dicapai dengan menambahkan syarat. Teknis output yang akan dicapai harus diidentifikasi secara utuh dengan menguraikan alasan mengapa output tersebut diperlukan, analisis dan metode perhitungan teknis yang digunakan dan apa dampak teknisnya jika penyedia tidak memenuhi syarat tersebut pada saat pemilihan. Apabila teknis output pekerjaan ternyata dapat dicapai dengan syarat yang sudah ada, baik syarat pemilihan maupun syarat pelaksanaan, maka tidak diperlukan penambahan syarat;
2.    Syarat yang ditambahkan tidak diskriminatif dan objektif. Kajian atau justifikasi harus dapat membuktikan bahwa syarat yang ditambahkan tidak menghambat dan membatasi keikutsertaan pelaku usaha dalam proses pemilihan, dibuat semata-mata untuk tujuan keberhasilan pekerjaan, bukan untuk mengatur agar pelaku usaha tertentu menjadi pemenang tender;

3.   Syarat yang ditambahkan tidak bertentangan dengan prinsip pengadaan, etika pengadaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kajian atau justifikasi harus dapat menunjukkan bahwa syarat yang ditambahkan sudah memenuhi Prinsip Pengadaan dalam Pasal 6 dan Etika Pengadaan dalam Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018. Juga harus membuktikan bahwa tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

        Sangat disayangkan bahwa ada kecenderungan menambah syarat pemilihan penyedia barang/jasa dengan tujuan yang tidak sepatutnya. Bukan karena dibutuhkan dalam pekerjaan. Kecenderungan untuk membatasi peserta yang dapat berpartisipasi agar yang menjadi pemenang sesuai “yang diinginkan”: orang dekat, kolega atau pihak yang dianggap menguntungkan diri sendiri, orang dan/atau kelompok teretentu. Trik tercela dan memalukan seperti ini sebenarnya sudah sangat kolot, terbelakang secara moral dan sudah sepantasnya ditumpas layaknya teroris yang meneror para pelaku pengadaan

22 Oktober 2022

MENYEBUT MEREK SEMAUNYA DALAM SPESIFIKASI TEKNIS

Pada Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 Pasal 19 ayat (2) disebutkan bahwa dalam penyusunan spesifikasi teknis/KAK dimungkinkan penyebutan merek terhadap:

a.       komponen barang/jasa;

b.      suku cadang;

c.       bagian dari satu sistem yang sudah ada; atau

d.       barang/jasa dalam katalog elektronik atau toko daring.
Kita tentu sepakat bahwa penggunaan kata “dimungkinkan” pada ayat tersebut mengandung makna tidak wajib atau tidak harus menyebut merek. Komponen barang/jasa, suku cadang atau bagian dari sistem yang sudah ada tidak diwajibkan untuk menggunakan merek barang yang sama dengan merek barang induknya atau kesatuan sistemnya. Tidak menutup kemungkinan ada komponen atau suku cadang atau bagian sistem yang kompatibel berasal dari merek yang berbeda. Lagipula tidak semua komponen atau suku cadang suatu unit barang sama dengan merek barang induknya.

Untuk penyebutan merek dalam spesifikasi teknis pada komponen barang/jasa, suku cadang atau bagian dari suatu sistem dapat disematkan pada salah satu atau kedua sisi. Jika yang disebutkan adalah merek komponen, suku cadang atau bagiannya, maka bisa jadi berbeda dengan merek barang induk atau kesatuan sistemnya. Penyebutan merek dalam hal ini harus dapat dipastikan bahwa hanya merek tersebut yang kompatibel. Jika ada merek lain yang kompatibel, maka yang disebutkan dalam spesifikasi teknis adalah merek barang induk atau kesatuan sistemnya. Namun penting diperhatikan bahwa perbedaan merek antara bagian dengan kesatuannya tersebut tidak melanggar ketentuan hak cipta atau menyebabkan gugurnya garansi jika masih dalam masa garansi. Pada kasus tertentu merek keduanya harus sama antara komponen, suku cadang atau bagian dengan induk atau kesatuannya.

Bagaimana dengan barang/jasa dalam katalog elektronik atau toko daring? Hal inilah yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini. Karena sepertinya ada anggapan bahwa jika pengadaan barang/jasa dilakukan dengan metode e-purchasing maka sudah pasti dapat menyebut merek dalam spesifikasi teknis. Apakah benar demikian? Sebelum membincang lebih lanjut, perlu diingat kembali bahwa spesifikasi teknis disusun oleh PA/KPA pada saat perencanaan pengadaan setelah dilakukan identifikasi kebutuhan. Selanjutnya PPK menetapkan spesifikasi teknis pada saat persiapan pengadaan dengan mengacu pada spesifikasi teknis yang disusun pada saat perencanaan pengadaan.

Spesifikasi teknis pada dokumen perencanaan pengadaan tidak memungkinkan menyebut merek. Pada saat dilakukan analisis pasar dengan metode brand approach and market share, ditentukan 2 sampai 5 merek/tipe produk yang dijadikan dasar menyusun spesifikasi teknis[1]. Dengan adanya lebih dari satu merek tersebut, maka tidak mungkin disebut keseluruhannya dalam spesifikasi teknis. Dengan dasar tersebut, menyebut merek dalam dokumen RKA atau DPA sudah pasti menyimpang dari ketentuan. Penyebutan merek yang dimungkinkan sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 adalah spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh PPK pada saat persiapan pengadaan barang/jasa.

Apa yang harus dilakukan jika terlanjur menyebut merek dalam DPA sebagaimana terjadi dalam beberapa kasus belakangan ini? Yang pertama harus diingat bahwa hal tersebut menyimpang dari peraturan yang berlaku. Penyimpangan dari peraturan harus diluruskan, bukan diteruskan. PPK memiliki kewenangan melakukan reviu spesifikasi teknis/KAK yang telah disusun pada tahap perencanaan Pengadaan Barang/Jasa. Reviu dilakukan berdasarkan data/informasi pasar terkini untuk mengetahui ketersediaan barang/jasa, harga, pelaku usaha dan alternatif barang/jasa sejenis. Dalam melakukan reviu ketersediaan barang/jasa perlu memerhatikan:

a. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang mengacu pada daftar inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri;
b.      memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI);
c.       produk usaha mikro dan kecil serta koperasi dari hasil produksi dalam negeri; dan
d.       produk ramah lingkungan hidup.
Dalam hal barang/jasa yang dibutuhkan tidak tersedia di pasar maka PPK mengusulkan alternatif spesifikasi teknis/KAK untuk mendapatkan persetujuan PA/KPA[2].

Dalam Keputusan Kepala LKPP Nomor 122 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Katalog Elektronik dijelaskan bahwa penyusunan spesifikasi teknis oleh PPK dilakukan dengan memerhatikan ketentuan sebagai berikut:

(1)   Spesifikasi teknis mengacu pada spesifikasi teknis yang disusun pada tahap perencanaan pengadaan. Spesifikasi teknis tersebut dapat disesuaikan berdasarkan data/informasi pasar terkini untuk mengetahui ketersediaan barang/jasa, harga, pelaku usaha dan alternatif barang/jasa sejenis. Termasuk dalam hal ini perlu memerhatikan ketersediaan produk dalam negeri dan produk dari Penyedia dengan kualifikasi Usaha Kecil.

(2)  Penyusunan spesifikasi teknis dimungkinkan menyebut merek barang/jasa yang tercantum pada Katalog Elektronik, dengan didukung justifikasi teknis secara tertulis yang ditetapkan PPK. Justifikasi teknis tersebut menjelaskan alasan, pertimbangan, bukti/fakta terhadap kebutuhan atas suatu merek tertentu.

Dalam ketentuan tersebut pada angka (1) disebutkan bahwa spesifikasi teknis dapat disesuaikan berdasarkan data/informasi pasar terkini untuk mengetahui ketersediaan barang/jasa, harga, pelaku usaha dan alternatif barang/jasa sejenis. Penyesuaian ini merupakan reviu yang dilakukan oleh PPK terhadap dokumen anggaran dengan tetap memerhatikan hasil identifikasi kebutuhan. Dengan adanya penyesuaian ini berarti spesifikasi teknis yang disusun pada saat perencanaan pengadaan tidak mutlak harus sama dengan spesifikasi teknis pada tahap persiapan pengadaan yang ditetapkan oleh PPK.

Pada angka (2) disebutkan bahwa penyusunan spesifikasi teknis dimungkinkan menyebut merek barang/jasa yang tercantum pada Katalog Elektronik, dengan didukung justifikasi teknis secara tertulis yang ditetapkan PPK. Pada ketentuan ini juga menggunakan kata “dimungkinkan”. Sama halnya dengan ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021, ketentuan ini juga mengandung makna tidak wajib atau tidak harus menyebut merek. Di sini bahkan menegaskan bahwa untuk dapat menyebut merek dalam spesifikasi teknis, harus didukung justifikasi teknis secara tertulis yang ditetapkan PPK. Justifikasi teknis ini tentu dimaksudkan untuk menguraikan alasan logis dan konstitusional pencantuman merek dalam spesifikasi teknis. Dalam hal ada merek/tipe lain yang dapat memenuhi kebutuhan, maka penyebutan merek akan berpotensi membatasi persaingan usaha atau mendukung praktik monopoli usaha oleh pihak tertentu.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang harus dilakukan ketika menemukan penyebutan merek pada perincian belanja dalam DPA adalah:

  1. PPK melakukan reviu dengan mengacu pada peraturan yang berlaku sebagaimana telah diuraikan di atas. Penyebutan merek dalam DPA menyimpang dari ketentuan proses penyusunan spesifikasi teknis sehingga PPK harus memastikan bahwa barang yang disebutkan mereknya tersebut memiliki spesifikasi teknis yang dapat terpenuhi dengan merek lain. Jika tidak ada merek lain yang memenuhi, maka spesifikasi teknisnya harus disesuaikan berdasarkan identifikasi kebutuhan barang/jasa. Setelah memastikan bahwa spesifikasi teknis dapat dipenuhi minimal 2 merek yang berbeda, maka PPK menetapkan spesifikasi teknis tanpa mencantumkan merek setelah mendapat persetujuan PA/KPA;
  2. PPK dapat menetapkan spsefikasi teknis dengan menyebut merek dalam spesifikasi teknis jika memenuhi kriteria Pasal 19 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 serta memenuhi syarat dan ketentuan dalam peraturan turunannya.

Bagaimana dengan pengadaan barang/jasa melalui metode Pengadaan Langsung? Sejauh ini belum ada isyarat dalam peraturan yang berlaku untuk dapat menyebut merek dalam spesifikasi teknis pada metode Pengadaan Langsung kecuali memenuhi syarat Pasal 19 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021. Jangankan menyebut merek, bahkan dalam Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 dijelaskan bahwa spesifikasi teknis/KAK harus didefinisikan dengan jelas dan tidak mengarah kepada produk atau merek tertentu. Mengarah pada merek tertentu saja tidak dibenarkan, apalagi menyebut mereknya. Ketentuan ini tentunya berlaku secara umum, tidak terbatas pada metode Pengadaan Langsung saja.

Dari uraian tersebut di atas, maka disimpulkan bahwa penyebutan merek dalam spesifikasi teknis tidak dapat dilakukan secara semena-mena. Semena-mena yang dimaksudkan adalah asalkan sudah masuk dalam kategori Pasal 19 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021, maka serta-merta menyebut merek tanpa memerhatikan alasan logis atau ketentuan lain dalam pengadaan barang/jasa.

Demikian...! Ini pendapat pribadi. Terbuka ruang diskusi agar tidak ikut tersesat dalam ruang pemahaman penulis yang teramat sempit.



[1] Keputusan Deputi IV LKPP Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pedoman Konsolidasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

[2] Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui Penyedia

05 Oktober 2022

POKIR PASAL 10

 

Pokir itu apa, sih? Istilah ini kerap terdengar setiap membincang anggaran. Usut punya usut, ternyata Pokir itu akronim dari Pokok-Pokok Pikiran. Dalam kaitannya dengan anggaran, Pokir merupakan salah satu komponen dalam penyusunan Rancangan Awal RKPD. Rancangan awal RKPD adalah salah satu tahap dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 86 Tahun 2017 Pasal 78 ayat (1) disebutkan bahwa penyusunan rancangan awal RKPD mencakup: salah satunya pada huruf i adalah penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD. Penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD merupakan kajian permasalahan pembangunan daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan risalah rapat dengar pendapat dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses.

Pada Pasal 78 ayat (2) Permendagri nomor 86 Tahun 2017 disebutkan bahwa dalam penyusunan rancangan awal RKPD, DPRD memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD berdasarkan hasil reses/penjaringan aspirasi masyarakat sebagai bahan perumusan kegiatan, lokasi kegiatan dan kelompok sasaran yang selaras dengan pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang RPJMD. Ada dua hal yang penting diperhatikan pada pasal ini. Pertama, pokok-pokok pikiran DPRD harus berdasarkan hasil reses/penjaringan aspirasi masyarakat. Anggota DPRD berkewajiban menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala. Kunjungan kerja secara berkala adalah kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota untuk bertemu dengan konstituennya secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil pertemuannya dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui fraksinya di DPRD kabupaten/kota.[1]

 Kedua, pokok-pokok pikiran DPRD harus selaras dengan pencapaian sasaran pembangunan dalam RPJMD. Secara RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD. Kiranya perlu dijelaskan bahwa RPJMD atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak dilantik sampai dengan berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Sedangkan RKPD atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Salah satu dokumen yang dilampirkan dalam Rancangan Perkada tentang RKPD kabupaten/kota yang disampaikan kepada gubernur adalah gambaran konsistensi  program  dan kerangka pendanaan antara RPJMD dan RKPD[2]. Konsistensi ini semakin menegaskan bahwa pokok-pokok pikiran DPRD yang disampaikan secara tertulis kepada BAPPEDA tidak boleh menyimpang dari arah sasaran pembangunan daerah. Pada Pasal 178 ayat (2) Permendagri nomor 86 Tahun 2017 dikonfirmasi kembali bahwa pokok-pokok pikiran DPRD diselaraskan dengan sasaran dan prioritas pembangunan serta ketersediaan kapasitas riil anggaran.

Kapan Pokir itu disampaikan? Pada Pasal 178 ayat (5) Permendagri nomor 86 Tahun 2017 dijelaskan bahwa pokok-pokok pikiran DPRD disampaikan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum Musrenbang RKPD dilaksanakan. Musrenbang RKPD kabupaten/kota dilaksanakan paling lambat pada minggu keempat bulan Maret. Selanjutnya pada ayat (7) ditegaskan bahwa Pokok-pokok pikiran DPRD yang disampaikan setelah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), akan dijadikan bahan masukan pada penyusunan perubahan RKPD dasar perubahan APBD tahun berjalan atau pada penyusunan RKPD tahun berikutnya.

Sekilas penjelasan tentang Pokir di atas kiranya cukup memberikan gambaran, makhluk seperti apa Pokir itu. Namun dalam perbincangan kalangan terbatas, Pokir lebih sering digunakan sebagai isyarat untuk uraian belanja tertentu dalam DPA yang perlu ‘perlakuan khusus’. Mengapa ada perlakuan khusus? Inilah yang menjadi cikal bakal penamaan judul pada tulisan ini.

Konon, Pokir yang merupakan ‘titipan’ anggaran dari 'oknum anggota DPRD' itu akan dikawal terus oleh oknum yang bersangkutan. Agar mudah dikontrol, biasanya besar anggaran sudah dipaketkan tidak melebihi 200 juta rupiah (untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya) agar penyedia atau pelaksana pekerjaan yang juga sudah disiapkan oleh oknum anggota DPRD tersebut tidak berpindah tangan. Hal ini dilakukan mengingat bahwa jika anggaran melebihi batas tersebut, maka pemilihan penyedianya akan dikompetisikan melalui tender.

Konon lagi. Dalam anggaran titipan melalui Pokir tersebut, ada bagian yang harus disetor kepada oknum anggota DPRD yang menitipkan. Dahsyatnya, bagian tersebut harus disetor sebelum pengadaan barang/jasa dilaksanakan sehingga penyedia harus mengeluarkan biaya sebelum menerima pembayaran dari kas daerah. Dengan adanya bagian yang harus disetor tersebut menyebabkan harga barang/jasa dinaikkan dari harga sewajarnya. Untuk pengadaan barang, misalnya: harga barang di toko yang sejatinya sudah termasuk pajak dan keuntungan dari pedagang/penjual. Jika barang tersebut dibeli oleh pemerintah daerah menggunakan anggaran dari mekanisme Pokir, maka pembeliannya dilakukan melalui penyedia. Penyedia dalam istilah mereka menyebutnya sebagai ‘Pihak Ketiga’ dialokasikan kentungan berkisar 10 - 15%. Penyedia juga menambahkan 10% pada harga barang sebagai bagian yang harus disetorkan kepada oknum anggota DPRD. Dengan demikian, harga barang akan membengkak dengan kisaran sebagai berikut:

·       Harga barang dari toko             = A

·       Keuntungan penyedia               = 10% x A

·       Setoran (Pasal 10)                     = 10% x A

·       PPN                                           = 11% x (A+10% A+10%A) = 13,2% x A

·       Total harga pembelian barang  = (A+10%A+10%A) + 13,2% x A = 133,2% x A =1,332A

Misalkan pembelian 1 unit laptop dengan harga di toko komputer sebesar Rp10.000.000,-. Jika pemerintah daerah membeli laptop tersebut yang anggarannya diusulkan oleh oknum anggota DPRD melalui Pokir, maka biaya yang harus dibayar kepada penyedia adalah sebesar Rp13.320.000,- (tiga belas juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah). Harga tersebut juga sebelumnya sudah diperhitungkan oleh PPK saat menetapkan HPS.

Formulasi perhitungan tersebut berdasarkan asumsi bahwa besar setoran dihitung dari persentase harga dasar barang. Perhitungan tentu akan berbeda jika nilai setoran berdasarkan persentase dari nilai total pengadaan barang/jasa.

 Bagian yang harus disetor sebagaimana diuraikan di atas yang diberi istilah 'Pasal 10' sebagaimana judul tulisan ini: Pokir Pasal 10. Angka 10 tersebut menunjukkan nilai 10% yang wajib disetor. Entah bagaimana muasal penyebutan Pasal 10 tersebut, namun jika hendak berspekulasi, penambahan kata ‘Pasal’ bisa jadi hanyalah pernyataan satire atas suatu kebiasaan menyimpang, meminta jatah yang pasti tidak akan ditemui dasar aturannya.

Yang terpenting perlu diingat bahwa kebiasaan yang sering dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari tersebut adalah penyelewengan nyata yang merupakan salah satu bentuk korupsi. Jika penyimpangan ini menjadi bahan temuan audit, maka oknum anggota DPRD yang telah menerima setoran tersebut dipastikan tidak akan mengakui. Dan yang mendapat bagian sialnya adalah pelaku pengadaan barang/jasa yang memproses pengadaannya. Perlu diingat juga bahwa Pokir tidak ada bedanya dengan dengan pengadaan barang/jasa yang diidentifikasi kebutuhannya dengan mekanisme selain Pokir. Sehingga jika anggaran pengadaan barang/jasa sudah masuk dalam dokumen anggaran, maka tanggung jawab pengadaannya berpindah kepada pelaku pengadaan sesuai aturan yang berlaku. DPRD cukup melaksanakan fungsinya sebagai legislasi, anggaran dan pengawasan.

Tulisan ini tentu bukanlah fakta yang pasti kebenarannya. Tetapi jika penyimpangan seperti diuraikan di atas benar terjadi, maka tidak perlu menunggu menjadi bahan temuan auditor baru kemudian menghentikannya. Integritas itu tak ternilai dengan harga, maka jangan menggadaikannya dengan jatah 10% pokir. 


[1] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

[2] Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 81 Tahun 2022 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2023

31 Agustus 2022

RANCANGAN KONSEPTUAL SMKK

Salah satu bagian penting dalam pekerjaan konstruksi adalah tingkat risiko keselamatan konstruksi. Mengapa penting? Ada beberapa hal yang menjadi alasannya. Pertama, pada pekerjaan konstruksi, tingkat risiko keselamatan konstruksi menjadi dasar untuk menentukan personel manajerial untuk Keselamatan Konstruksi[1]. Kedua, tingkat risiko merupakan salah satu kriteria dalam menentukan segmentasi pasar Jasa Konstruksi selain teknologi dan biaya[2]. Ketiga, tingkat risiko menjadi salah satu dasar bagi Penyedia Jasa Konstruksi untuk menerapkan Analisis Keselamatan Konstruksi (AKK)[3].

Lalu siapa dan apa dasar untuk menetapkan tingkat risiko? Dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi pada Pasal 21 ayat (6) disebutkan bahwa Pengguna Jasa mengacu pada hasil dokumen pekerjaan jasa Konsultansi Konstruksi perancangan dan/atau berkonsultasi dengan ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi dan/atau ahli Keselamatan Konstruksi dan/atau tenaga ahli yang membidangi Keselamatan Konstruksi dalam menetapkan uraian pekerjaan, identifikasi bahaya, dan penetapan tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi.

Jadi yang menetapkan tingkat risiko adalah Pengguna Jasa. Siapa Pengguna Jasa? Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi[4]. Kemudian hasil dokumen pekerjaan jasa Konsultansi Konstruksi perancangan yang dimaksudkan pada pasal tersebut adalah Rancangan Konseptual SMKK yang dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) sebagai berikut:

Rancangan Konseptual SMKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang disusun pada pekerjaan perancangan memuat:

a. lingkup tanggung jawab perancang, termasuk pernyataan bahwa jika terjadi revisi desain, tanggung jawab revisi desain dan dampaknya ada pada penyusun revisi;

b.    metode pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi ;

c.    standar pemeriksaan dan pengujian;

d.   rekomendasi rencana pengelolaan lingkungan hidup;

e.    rencana manajemen lalu lintas, jika diperlukan;

f.     BPRP;

g. daftar standar dan/atau peraturan perundang-undangan Keselamatan Konstruksi yang ditetapkan untuk desain;

h.    pernyataan penetapan tingkat risiko Keselamatan Konstruksi;

i.     biaya SMKK serta kebutuhan personil keselamatan Konstruksi; dan

j. rancangan panduan keselamatan pengoperasian dan pemeliharaan konstruksi bangunan.

Rancangan Konseptual SMKK adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang disusun pada tahap pengkajian, perencanaan dan/atau perancangan[5]. Rancangan Konseptual SMKK tidak hanya disusun oleh konsultan perancangan, tetapi termasuk konsultan pengkajian dan perencanaan. Rancangan Konseptual SMKK yang disusun oleh konsultan pengkajian dan perencanaan dijelaskan pada Pasal 4 sebagai berikut:

Rancangan Konseptual SMKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang disusun pada pekerjaan pengkajian dan perencanaan paling sedikit memuat:

a.     lingkup tanggung jawab pengkajian dan/atau perencanaan;

b.   informasi awal terhadap kelaikan yang meliputi lokasi, lingkungan, sosio ekonomi, dan/atau dampak lingkungan; dan

c.      rekomendasi teknis.

Dalam Pasal 21 ayat (6) sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam menetapkan uraian pekerjaan, identifikasi bahaya, dan penetapan tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi, Pengguna Jasa dapat berkonsultasi dengan ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi.  Ini adalah pilihan bagi Pengguna Jasa yang dapat dilakukan yaitu secara kumulatif ataupun alternatif. Kumultaif berarti menggunakan konjungsi “dan”, sementara alternatif menggunakan konjungsi “atau”. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada ilustrasi berikut:


 

Gambar: Pilihan bagi Pengguna Jasa

Pengguna Jasa dapat memilih dari tiga cara tersebut di atas dengan pertimbangan:

1.   Cara Kumulatif  berarti harus mengeluarkan biaya lebih banyak,

2.   Cara Alternatif 1 berarti biaya yang dikeluarkan sudah dalam satu paket dengan hasil kerja konsultan perancang,

3.  Cara Alternatif 2 berarti Pengguna Jasa akan membayar jasa dua kali secara terpisah yang berarti akan terjadi kontrak kerja dua kali.

Dengan adanya pilihan-pilihan tersebut, yang perlu dipertimbangkan adalah cara yang paling efektif dan efisien.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa Konsultansi Konstruksi adalah layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan. Demikian pula dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi pada Pasal 47 ayat (1) bahwa penyelenggaraan usaha jasa Konsultansi Konstruksi meliputi kegiatan:

a.     pengkajian;

b.     perencanaan;

c.     perancangan;

d.     pengawasan; dan/atau

e.     manajemen penyelenggaraan Konstruksi.

Kutipan peraturan tersebut untuk memperjelas bahwa dalam hal penerapan SMKK, masing-masing penyedia jasa konsultansi konstruksi memiliki tugas dan peran masing-masing, bukan hanya menjadi tanggung jawab penyedia jasa Pekerjaan Konstruksi atau Konsultan Pengawasan Konstruksi.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi pada Pasal 84L dinyatakan:

Ayat (5): Dalam menyusun Rancangan Konseptual SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia jasa pekerjaan konsultansi pengkajian, perencanaan dan perancangan wajib memiliki ahli keselamatan dan kesehatan kerja konstruksi, atau ahli keselamatan konstruksi.

Ayat (6): Ahli keselamatan dan kesehatan kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tenaga ahli yang mempunyai kompetensi khusus di bidang keselamatan dan kesehatan kerja konstruksi dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi SMKK yang dibuktikan dengan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi.

Ayat (7): Ahli keselamatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tenaga ahli yang mempunyai kompetensi khusus di bidang keselamatan konstruksi dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi penerapan SMKK yang dibuktikan dengan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi.

 Selanjutnya dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021, Pasal 3 ayat (2) kembali dinyatakan bahwa dalam menyusun Rancangan Konseptual SMKK, Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi dan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi harus memiliki Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi, atau Ahli Keselamatan Konstruksi. Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi yang dimaksudkan pada ayat tersebut adalah Penyedia Jasa  yang melakukan pekerjaan pengkajian, perencanaan, dan perancangan sebagaimana dijalskan pada ayat (1) dalam pasal tersebut.

Dari uraian tersebut di atas, maka disimpulkan sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan usaha jasa Konsultansi Konstruksi meliputi kegiatan pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan dan/atau manajemen penyelenggaraan Konstruksi,

2.  Rancangan Konseptual SMKK disusun pada tahap pengkajian, perencanaan dan/atau perancangan,

3.   Rancangan Konseptual SMKK yang disusun pada tahap perancangan menjadi acuan bagi Pengguna Jasa untuk menetapkan tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi,

4.  Dalam menyusun Rancangan Konseptual SMKK, Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi dan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi harus memiliki Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi, atau Ahli Keselamatan Konstruksi.

 

Ex Pokja Black


[1] Pasal 21 ayat (7) Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021

[2] Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020

[3] Pasal 26 ayat (1) Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021

[4] Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

[5] Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021