Pokir itu apa, sih?
Istilah ini kerap terdengar setiap membincang anggaran. Usut punya usut,
ternyata Pokir itu akronim dari Pokok-Pokok Pikiran. Dalam kaitannya dengan
anggaran, Pokir merupakan salah satu komponen dalam penyusunan Rancangan Awal
RKPD. Rancangan awal RKPD adalah salah satu tahap dalam penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 86
Tahun 2017 Pasal 78 ayat (1) disebutkan bahwa penyusunan rancangan awal RKPD
mencakup: salah satunya pada huruf i adalah penelaahan pokok-pokok
pikiran DPRD. Penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD merupakan kajian permasalahan
pembangunan daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan risalah rapat dengar
pendapat dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses.
Pada Pasal 78
ayat (2) Permendagri nomor 86 Tahun 2017 disebutkan bahwa dalam penyusunan
rancangan awal RKPD, DPRD memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok
pikiran DPRD berdasarkan hasil reses/penjaringan aspirasi masyarakat sebagai
bahan perumusan kegiatan, lokasi kegiatan dan kelompok sasaran yang selaras
dengan pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditetapkan dalam Peraturan
Daerah tentang RPJMD. Ada dua hal yang penting diperhatikan pada pasal ini. Pertama,
pokok-pokok pikiran DPRD harus berdasarkan hasil reses/penjaringan aspirasi
masyarakat. Anggota DPRD berkewajiban menyerap dan menghimpun aspirasi
konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala. Kunjungan kerja secara
berkala adalah kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota untuk bertemu dengan
konstituennya secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil pertemuannya
dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui
fraksinya di DPRD kabupaten/kota.[1]
Kedua, pokok-pokok pikiran DPRD harus selaras
dengan pencapaian sasaran pembangunan dalam RPJMD. Secara RKPD merupakan
penjabaran dari RPJMD. Kiranya perlu dijelaskan bahwa RPJMD atau Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima)
tahun terhitung sejak dilantik sampai dengan berakhirnya masa jabatan kepala
daerah. Sedangkan RKPD atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah adalah dokumen
perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Salah satu dokumen yang
dilampirkan dalam Rancangan Perkada tentang RKPD kabupaten/kota yang
disampaikan kepada gubernur adalah gambaran konsistensi program
dan kerangka pendanaan antara RPJMD dan RKPD[2]. Konsistensi ini semakin
menegaskan bahwa pokok-pokok pikiran DPRD yang disampaikan secara tertulis
kepada BAPPEDA tidak boleh menyimpang dari arah sasaran pembangunan daerah. Pada
Pasal 178 ayat (2) Permendagri nomor 86 Tahun 2017 dikonfirmasi kembali bahwa pokok-pokok
pikiran DPRD diselaraskan dengan sasaran dan prioritas pembangunan serta
ketersediaan kapasitas riil anggaran.
Kapan Pokir
itu disampaikan? Pada Pasal 178 ayat (5) Permendagri nomor 86 Tahun 2017 dijelaskan
bahwa pokok-pokok pikiran DPRD disampaikan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum
Musrenbang RKPD dilaksanakan. Musrenbang RKPD kabupaten/kota dilaksanakan
paling lambat pada minggu keempat bulan Maret. Selanjutnya pada ayat (7)
ditegaskan bahwa Pokok-pokok pikiran DPRD yang disampaikan setelah melewati
batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), akan dijadikan bahan masukan
pada penyusunan perubahan RKPD dasar perubahan APBD tahun berjalan atau pada
penyusunan RKPD tahun berikutnya.
Sekilas penjelasan
tentang Pokir di atas kiranya cukup memberikan gambaran, makhluk seperti apa
Pokir itu. Namun dalam perbincangan kalangan terbatas, Pokir lebih sering
digunakan sebagai isyarat untuk uraian belanja tertentu dalam DPA yang perlu ‘perlakuan khusus’.
Mengapa ada perlakuan khusus? Inilah yang menjadi cikal bakal penamaan judul pada
tulisan ini.
Konon, Pokir
yang merupakan ‘titipan’ anggaran dari 'oknum anggota DPRD' itu akan dikawal
terus oleh oknum yang bersangkutan. Agar mudah dikontrol, biasanya besar
anggaran sudah dipaketkan tidak melebihi 200 juta rupiah (untuk pengadaan
barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya) agar penyedia atau pelaksana
pekerjaan yang juga sudah disiapkan oleh oknum anggota DPRD tersebut tidak berpindah
tangan. Hal ini dilakukan mengingat bahwa jika anggaran melebihi batas
tersebut, maka pemilihan penyedianya akan dikompetisikan melalui tender.
Konon
lagi. Dalam anggaran titipan melalui Pokir tersebut, ada bagian yang harus
disetor kepada oknum anggota DPRD yang menitipkan. Dahsyatnya, bagian tersebut harus
disetor sebelum pengadaan barang/jasa dilaksanakan sehingga penyedia harus
mengeluarkan biaya sebelum menerima pembayaran dari kas daerah. Dengan adanya
bagian yang harus disetor tersebut menyebabkan harga barang/jasa dinaikkan dari
harga sewajarnya. Untuk pengadaan barang, misalnya: harga barang di toko yang
sejatinya sudah termasuk pajak dan keuntungan dari pedagang/penjual. Jika
barang tersebut dibeli oleh pemerintah daerah menggunakan anggaran dari
mekanisme Pokir, maka pembeliannya dilakukan melalui penyedia. Penyedia dalam
istilah mereka menyebutnya sebagai ‘Pihak Ketiga’ dialokasikan kentungan berkisar
10 - 15%. Penyedia juga menambahkan 10% pada harga barang sebagai bagian yang
harus disetorkan kepada oknum anggota DPRD. Dengan demikian, harga barang akan
membengkak dengan kisaran sebagai berikut:
·
Harga
barang dari toko = A
·
Keuntungan
penyedia = 10% x A
·
Setoran
(Pasal 10) = 10% x A
·
PPN = 11%
x (A+10% A+10%A) = 13,2% x A
·
Total
harga pembelian barang = (A+10%A+10%A) + 13,2%
x A = 133,2% x A =1,332A
Misalkan pembelian 1 unit laptop
dengan harga di toko komputer sebesar Rp10.000.000,-. Jika pemerintah daerah
membeli laptop tersebut yang anggarannya diusulkan oleh oknum anggota DPRD melalui
Pokir, maka biaya yang harus dibayar kepada penyedia adalah sebesar Rp13.320.000,-
(tiga belas juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah). Harga tersebut juga sebelumnya sudah diperhitungkan oleh PPK saat menetapkan HPS.
Formulasi perhitungan
tersebut berdasarkan asumsi bahwa besar setoran dihitung dari persentase harga
dasar barang. Perhitungan tentu akan berbeda jika nilai setoran berdasarkan
persentase dari nilai total pengadaan barang/jasa.
Bagian yang harus disetor sebagaimana
diuraikan di atas yang diberi istilah 'Pasal 10' sebagaimana judul tulisan ini: Pokir
Pasal 10. Angka 10 tersebut menunjukkan nilai 10% yang wajib disetor. Entah
bagaimana muasal penyebutan Pasal 10 tersebut, namun jika hendak berspekulasi,
penambahan kata ‘Pasal’ bisa jadi hanyalah pernyataan satire atas
suatu kebiasaan menyimpang, meminta jatah yang pasti tidak akan ditemui dasar aturannya.
Yang
terpenting perlu diingat bahwa kebiasaan yang sering dianggap sebagai sesuatu
yang tidak dapat dihindari tersebut adalah penyelewengan nyata yang merupakan salah
satu bentuk korupsi. Jika penyimpangan ini menjadi bahan temuan audit, maka oknum anggota DPRD yang telah menerima setoran tersebut dipastikan tidak akan
mengakui. Dan yang mendapat bagian sialnya adalah pelaku pengadaan barang/jasa
yang memproses pengadaannya. Perlu diingat juga bahwa Pokir tidak ada bedanya
dengan dengan pengadaan barang/jasa yang diidentifikasi kebutuhannya dengan mekanisme
selain Pokir. Sehingga jika anggaran pengadaan barang/jasa sudah masuk dalam
dokumen anggaran, maka tanggung jawab pengadaannya berpindah kepada pelaku
pengadaan sesuai aturan yang berlaku. DPRD cukup melaksanakan fungsinya sebagai
legislasi, anggaran dan pengawasan.
Tulisan ini tentu
bukanlah fakta yang pasti kebenarannya. Tetapi jika penyimpangan seperti diuraikan di atas benar terjadi, maka tidak perlu menunggu menjadi bahan temuan auditor baru kemudian menghentikannya. Integritas itu tak ternilai dengan harga, maka jangan menggadaikannya dengan jatah 10% pokir.
[1] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
[2] Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 81 Tahun 2022 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar