31 Agustus 2019

BUKAN PERNYATAAN DARI BPBJ, KETUA KADIN BONTANG TANGGAPI KLARIFIKASI TENTANG SKP


“Jika kemudian engkau menyadari kekhilafanmu, maka ketahuilah bahwa pintu pemahaman mulai terbuka”
 (Titah Sunyi dari dalam Toilet)

Pada tulisan sebelumnya berjudul Beberapa Kekeliruan Pernyataan Ketua Kadin Bontang, diberikan klarifikasi tentang pengertian SKP (Sisa Kemampuan Paket) dan beberapa istilah yang digunakan oleh Ketua Kadin Bontang secara keliru. Tulisan tersebut dibuat terkait berita yang dimuat di Tribun Kaltim pada tanggal 23 Agustus 2019 berjudul Kadin Adukan Panitia ULP ke Kejaksaan, Diduga Labrak Aturan LoloskanPemenang Tender. Klarifikasi tersebut dimaksudkan untuk meluruskan maksud dalam istilah SKP yang oleh Ketua Kadin Bontang dijelaskan sebagai aturan main yang mengatur jumlah paket proyek tiap perusahaan, dimana masing-masing perusahaan hanya diperbolehkan mendapat 5 proyek selama satu tahun. Oleh penulis kemudian diluruskan bahwa SKP itu tidak membatasi jumlah proyek dalam setahun, melainkan dalam waktu pelaksanaan yang bersamaan. Tulisan tersebut sama sekali tidak menyinggung mengenai materi pengaduan oleh Kadin Bontang ke Kejaksaan Negeri Bontang. Juga tidak dimaksudkan untuk membantah tuduhan yang ditujukan kepada Pokja Pemilihan Bagian Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) Sekretariat Daerah Kota Bontang. Sebagai informasi tambahan bahwa yang dimaksudkan sebagai ULP oleh Ketua Kadin Bontang yang kemudian diluruskan oleh penulis sebagai UKPBJ yaitu unit kerja di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menjadi pusat keunggulan Pengadaan Barang/Jasa. Di Pemerintah Kota Bontang, unit ini berada pada Bagian Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) Sekretariat Daerah Kota Bontang.

Terkait klarifikasi tersebut, Tribun Kaltim kembali menurunkan berita berjudul ULP Sebut Penjelasan SKP Versi Kadin Keliru, Herman Beber Data TemuanDugaan Pelanggaran pada tanggal 28 Agustus 2019. Menurut pengakuannya, pihak Tribun Kaltim menerima siaran pers yang dimaksudkan untuk meluruskan narasi yang disampaikan pihak Kadin Bontang terkait penjelasan Sisa Kemampuan Paket (SKP) serta penggunaan istilah. Dari kutipan kalimat yang dimuat dalam berita, jelas bahwa siaran pers yang dimaksudkan oleh Tribun Kaltim bersumber dari tulisan di blog ini dengan judul seperti telah disebutkan di atas. Sebagai insan pers yang profesional, seharusnya wartawan Tribun Kaltim mengkonfirmasi, apakah benar tulisan yang diterima dimaksudkan sebagai siaran pers. Apalagi tulisan tersebut tercantum jelas tautan sumbernya. Untuk diketahui bahwa tulisan tersebut adalah opini pribadi dari penulis dan tidak mengatasnamakan lembaga/instansi manapun. Jika kemudian ada pengakuan dari pihak tertentu bahwa tulisan tersebut merupakan pernyataan atau tanggapan dari BPBJ, maka penulis tidak bertanggung jawab, termasuk jika kemudian berimbas pada nama baik lembaga/instansi serta berkonsekuensi hukum.

Kembali pada tanggapannya Ketua Kadin Bontang, Herman Saribanong mengatakan penjelasan pihak ULP dengan bukti-bukti yang dilampirkan tak berkesuaian. Ketua Kadin kemudian menyampaikan data atas bukti-bukti yang dimaksud. Dari sini jelas bahwa Ketua Kadin tidak membantah kebenaran klarifikasi tentang SKP yang dimuat dalam blog ini, tetapi menanggapinya dengan membeberkan data milikinya yang dituduhkan sebagai pelanggaran. Cara Ketua Kadin Bontang menanggapi tersebut dapat dipahami sebagai reaksi atas klarifikasi yang diberikan, namun memang tidak berkesesuaian karena yang bersangkutan berfokus pada materi pengaduannya, sementara tulisan dalam blog ini hanya mengoreksi kesalahan penggunaan istilah dan penjelasannya.

Agar tidak menyesatkan pemahaman kita, terutama pembaca Tribun Kaltim yang telah mengikuti pemberitaan mengenai masalah ini, maka kembali penulis tegaskan di sini bahwa apa yang ditanggapi oleh Ketua Kadin Bontang tersebut bukanlah pernyataan dari BPBJ. Penulis hanya berharap agar kesalahpahaman ini bisa segera diluruskan agar maksud masing-masing pihak tidak saling mengacaukan dengan tanggapan yang tidak bertemu dalam satu pemahaman. Kepada Tribun Kaltim yang telah mengutip tulisan dalam blog ini agar segera memberikan klarifikasi agar tidak menimbulkan opini seolah-olah BPBJ Sekretariat Daerah Kota Bontang telah bersikap naif terhadap pengaduan Ketua Kadin Bontang.

27 Agustus 2019

BEBERAPA KEKELIRUAN PERNYATAAN KETUA KADIN BONTANG


“Sejernih dan setulus apapun ide yang engkau cetuskan, tidak serta merta dapat diterima orang lain, apalagi diterima sebagai kebenaran”
 (Titah Sunyi dari dalam Toilet)

Tulisan ini sedikit menyitir tentang pemberitaan yang dimuat di media daring Tribun Kaltim pada tanggal 23 Agustus 2019 berjudul Kadin Adukan Panitia ULP ke Kejaksaan, Diduga Labrak Aturan Loloskan Pemenang Tender. Diberitakan bahwa Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bontang mengadukan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh panitia di Unit Lelang Pengadaan (ULP) Kota Bontang. Menurutnya ada praktik persaingan tidak sehat di internal ULP Bontang karena ada dua perusahaan menang tender proyek walaupun cacat administrasi. Sebagaimana dibeberkan oleh ketua Kadin Bontang bahwa cacat administrasi yang dimaksudkan adalah adanya perusahaan asal luar Bontang menang proyek walaupun sudah melebih batas Sisa Kemampuan Paket (SKP). Dijelaskan lebih lanjut bahwa SKP merupakan aturan main yang mengatur jumlah paket proyek tiap perusahaan. Masing-masing perusahaan hanya diperbolehkan mendapat 5 proyek selama satu tahun.

Di sini tidak akan dibahas tentang proses hukum dari pengaduan tersebut, tetapi semata ingin meluruskan penggunaan istilah dan penjelasannya yang keliru di hadapan awak media. Entah kekeliruan ini terjadi karena yang bersangkutan sendiri tidak memahami apa yang ia jelaskan, atau memahami tetapi keliru menyampaikan. Hal ini penting diluruskan mengingat media ini diakses oleh publik yang kemungkinan belum mengetahui tentang muatan pengaduan. Kesalahan publik dalam memahami dapat berakibat fatal, karena berita ini dapat termobilisasi di media-media sosial yang menyebabkan penghakiman sepihak tanpa mengerti duduk persoalannya. Apalagi dalam redaksi pemberitaan tersebut, sangat jelas terlihat bahwa penulis berita (jurnalis) sama sekali tidak memahami istilah yang digunakan sehingga tidak memberikan penjelasan tambahan dari penggunaan istilah yang dimaksud.

UKPBJ, bukan ULP
Kekeliruan pertama adalah penyebutan nama unit kerja. Dalam judul berita sangat jelas tertulis ULP yang selanjutnya dalam isi berita dijelaskan bahwa ULP adalah singkatan dari Unit Lelang Pengadaan. Bagi masyarakat awam, istilah ini tentu kurang familiar, tetapi bagi pelaku usaha yang sering mengikuti tender pengadaan barang/jasa pemerintah, istilah ULP ini tidaklah asing. Penyebutan ULP digunakan dalam Perturan Presiden nomor 54 Tahun 2010. Dalam Pasal 1 ayat (8) disebutkan bahwa Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Di sini jelas kekeliruannya adalah mengganti kata “Layanan” menjadi “Lelang”. Ini tentu bukan masalah serius bagi pelapor karena kepentingan utamanya adalah bagaimana laporannya diterima oleh pihak kejaksaan dan diberitakan oleh media meskipun menggunakan istilah yang salah kaprah. Tetapi dari segi administrasi, ini adalah kesalahan serius. Jika dalam pengaduannya, pelapor membuat laporan resmi, maka jelas ini kesalahan penyebutan nama. Kesalahan penyebutan nama dalam dokumen resmi dapat menyebabkan dokumen tersebut memiliki celah hukum sehingga dapat ditolak.

Tidak cukup sampai di situ, kekeliruan selanjutnya adalah karena saat ini istilah ULP sudah tidak digunakan sejak terbitnya Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018. Dalam Perpres ini, istilah yang digunakan adalah UKPBJ. Dalam Pasal 1 ayat (11) dijelaskan bahwa Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat UKPBJ adalah unit kerja di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menjadi pusat keunggulan Pengadaan Barang/Jasa. Dalam percakapan sehari-hari, istilah ULP saat ini memang masih sering digunakan mengingat perubahan nama menjadi UKPBJ baru diundangkan pada tanggal 22 Maret 2018. Tetapi penyebutan ULP tersebut tentu tidak untuk digunakan dalam situasi formal, termasuk membuat laporan pengaduan ke kejaksaan.

Praktik Persaingan tidak Sehat
Selanjutnya dalam pengaduannya ketua Kadin Bontang menyebutkan bahwa ada persaingan tidak sehat di internal ULP Bontang. Penyebutan frasa “praktik persaingan tidak sehat” ini cukup menimbulkan tanya. Jika ada persingan tidak sehat, tentu ada persaingan yang sehat. Ini aneh, karena UKPBJ tidak memiliki fungsi menjalankan usaha atau bisnis, tetapi tidak lebih sebagai fungsi pelayanan.

Pengertian persaingan adalah proses sosial yang melibatkan individu atau kelompok yang saling berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai kemenangan tertentu. Persaingan dapat terjadi apabila beberapa pihak menginginkan sesuatu yang terbatas atau sesuatu yang menjadi pusat perhatian umum. Jika kita mengacu pada pengertian tersebut, maka dalam menjalankan fungsinya, tidak akan ada persaingan dalam internal UKPBJ. Karena tidak ada sesuatu yang diperebutkan atau hendak dimenangkan.

5 Proyek Selama Satu Tahun
Pokok masalah yang diadukan oleh Ketua Kadin Bontang adalah mengenai SKP atau Sisa Kemampuan Paket. Istilah SKP sendiri ditemui dalam lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 07/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia. Dalam standar dokumen pemilihan pengadaan pekerjaan konstruksi disebutkan sebagai berikut:
“Dalam hal peserta diketahui mengikuti beberapa paket pekerjaan yang ditenderkan oleh beberapa Pokja Pemilihan dalam waktu yang bersamaan dan telah ditetapkan menjadi pemenang pada beberapa paket tersebut, dilakukan perhitungan ulang sisa kemampuan menangani paket (SKP) (untuk usaha kecil)/sisa kemampuan nyata (SKN) (untuk usaha menengah dan besar).”
Perhitungan ulang SKP yang dimaksudkan di sini dilakukan pada tahap penetapan pemenang. Karena sebelumnya, pada tahap evaluasi kualifikasi sudah dilakukan perhitungan SKP dengan rumus:
SKP = 5 – P, dimana P adalah Paket pekerjaan yang sedang dikerjakan (hanya untuk pekerjaan yang diperuntukkan bagi Kualifikasi Usaha Kecil)
Di mana letak kesalahan penjelasan Ketua Kadin Bontang dalam pengaduan tersebut? Kita kutip kembali isi pernyataannya sebagai berikut:
“SKP merupakan aturan main yang mengatur jumlah paket proyek tiap perusahaan. Masing-masing perusahaan hanya diperbolehkan mendapat 5 proyek selama satu tahun."
Penekanannya pada bagian “5 proyek selama satu tahun”. Orang awam tentu dengan mudah memahami ini bahwa pelaku usaha tidak boleh mengerjakan lebih dari 5 proyek dalam satu tahun. Kekeliruan pernyataan ini dapat dipahami setelah melihat rumus perhitungan SKP di atas. Dalam rumus terseubut dijelaskan bahwa P adalah paket pekerjaan yang sedang dikerjakan. Artinya paket pekerjaan dalam tahun tersebut yang sudah selesai kontrak tentu tidak masuk dalam perhitungan.

Misalnya Perusahaan A pada bulan Agustus tahun 2019 mengikuti tender paket pekerjaan konstruksi. Dalam isian kualifikasi, perusahaan tersbut memiliki 4 pekerjaan yang sedang dikerjakan, sementara Pokja Pemilihan mengetahui dari informasi tender sebelumnya bahwa perusahaan tersebut pernah memenangkan 2 paket pekerjaan, namun sudah selesai kontrak sejak bulan Mei 2019. Berarti sampai bulan Agustus tahun 2019  perusahaan tersebut telah mendapatkan pekerjaan sebanyak 6 paket. Jika kembali mengkuti tender, bagaimana perhitungan SKP-nya?

Perhitungan SKP Perusahaan A adalah:
SKP = 5 – 4 = 1 paket

Mengapa P = 4 sementara perusahaan tersebut telah mendapat 6 paket pekerjaan pada tahun 2019? Di sinilah kekeliruan penjelasan Ketua Kadin Bontang tersebut. Karena sangat terang dalam penjelasan rumus SKP, bahwa P adalah paket pekerjaan yang sedang dikerjakan. Sedang dikerjakan berarti kontrak masih berjalan sehingga dalam SKP tidak diperhitungkan paket yang sudah selesai kontrak meskipun dalam tahun yang sama.

Singkatnya, SKP tidak membatasi paket pekerjaan dalam setahun, tetapi membatasi paket pekerjaan dalam waktu pelaksanaan berimpit atau bersamaan.

02 Mei 2019

SKN YANG BIKIN GEMAS



Diskusi Pokja Pemilihan
Dalam suatu kesempatan, Kepala Bagian Layanan Pengadaan mengumpulkan tim Pokja Pemilihan untuk berembuk terkait SKN atau Sisa Kemampuan Nyata. Langkah ini diambil mengingat masih terjadi silang pendapat dalam internal Pokja Pemilihan dalam hal penerapan ketentuan baru dalam dunia pengadaan barang/jasa ini. Berumur kurang lebih setahun, SKN tidak serta-merta menjadi akrab dalam pemahaman Pokja Pemilihan. Secara aturan, selintas tidak ada yang sulit dipahami secara tekstual tentang SKN ini. Masalah kemudian mengemuka ketika dalam penerapan, timbullah perbedaan yang harus segera disikapi. Jika tidak segera diambil keputusan, maka proses pengadaan akan terhambat. Namun jika diambil keputusan secara gegabah dan tergesa-gesa, risikonya akan menjadi bumerang bagi Pokja Pemilihan karena keputusannya akan mengikat proses dan hasil pengadaan yang sedang dilaksanakan.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk merangkum atau membuat kesimpulan hasil rembuk Pokja Pemilihan tentang ’nasib’ SKN. Juga tidak dimaksudkan untuk melakukan analisa atau asumsi sendiri mengenai SKN sehingga seakan-akan lebih layak menjadi acuan. Tulisan ini hanya sekedar menjadi rekaman semangat tim Pokja Pemilihan yang senantiasa belajar sehingga ilmu yang dikuasai lebih dinamis dan tidak berhenti pada kata SEPAKAT. Mengadu pendapat dalam diskusi menunjukkan bahwa masing-masing individu sudah melalui proses belajar sehingga memiliki bekal pemahaman sebelum kemudian saling berbagi dan bertukar hasil pembelajaran. Yang terpenting harus dipegang bahwa berdiskusi tidak dimaksudkan untuk adu kuat analisa atau argumentasi sehingga yang terkuat menjadi pemenang dan yang kalah wajib mengikuti. Juga tidak dimaksudkan untuk mempertahankan pendapat sehingga segala argumen diajukan untuk menguatkan pendapat sendiri dan menolak pendapat teman diskusi. Diskusi esensinya adalah bersinergi agar perbedaan pikiran individu larut dalam semangat mencari solusi sehingga menghasilkan kekuatan argumentasi kelompok yang padu.

Lanjut tentang bagaimana gelindingan bola niskala bernama SKN di hamparan pikiran tak bertepi pada masing-masing ‘kepala’ Pokja Pemilihan. Bola ini menggelinding secara liar karena tidak adanya kata kunci yang dapat membatasi secara pasti tentang harus bagaimana mengarahkan bola ini sehingga tidak ada lagi keraguan bahwa bola memang sudah masuk ke gawang yang seharusnya. Ini memang tanggung jawab pihak perumus, dalam hal ini adalah LKPP untuk memberikan pencerahan kepada setiap pihak sebelum SKN ini menjadi sasaran empuk para pelaku usaha yang mengikuti tender untuk dijadikan bahan sanggahan ketika pendapat Pokja Pemilihan dianggap lemah.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia, SKN menjadi salah satu syarat kualifikasi kemampuan keuangan bagi peserta tender untuk keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang dimaksudkan sebagaimana dikutip dari pedoman tersebut adalah sebagai berikut:
“Untuk Penyedia Non Kecil harus memiliki kemampuan keuangan berupa Sisa Kemampuan Nyata (SKN) yang disertai dengan laporan keuangan. Kemampuan Nyata adalah kemampuan penuh/keseluruhan Peserta saat penilaian kualifikasi meliputi kemampuan keuangan dan kemampuan permodalan untuk melaksanakan paket pekerjaan yang sedang/akan dikerjakan.SKN dikecualikan untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil.”
Jadi pengkhususan yang merupakan keadaan tertentu itu terletak pada kalimat “untuk Penyedia Non Kecil”. Kemudian ditegaskan lagi pada kalimat “SKN dikecualikan untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Sekedar mengingatkan kembali dan kiranya ini tidak disudutkan sebagai pendapat usang, bahwa pada peraturan sebelumnya, yaitu pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Pasal 19 ayat (1) huruf h yang mengatur tentang Kemampuan Dasar (KD) disebutkan:
memiliki Kemampuan Dasar (KD) untuk usaha non-kecil, kecuali untuk Pengadaan Barang dan Jasa Konsultansi.”
Pengkhususan tentang KD di sini ditujukan untuk usaha non-kecil.            Tentang masalah SKN dan KD di sini memiliki kemiripan. Perbedaannya hanya pada kata “penyedia” dalam SKN dan “usaha” dalam KD. Kemiripan masalah terjadi ketika dalam suatu tender pengadaan barang/jasa yang secara nilai paket perkerjaan tidak dicadangkan untuk usaha kecil, misalnya nilainya di atas Rp2.500.000.000 untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya, apakah peserta yang berkualifikasi kecil juga wajib memenuhi ketentuan SKN atau KD? Jika kita membaca redaksi kalimat untuk ketentuan SKN, sangat terang dan nyata bahwa SKN dikecualikan untuk usaha mikro dan usaha kecil. Sebagian Pokja Pemilihan kemudian  memahami pengecualian ini tanpa syarat, apakah mengikuti tender paket untuk usaha kecil maupun non kecil. Artinya penyedia dengan kualifikasi usaha kecil terbebas dari ‘ranjau’ SKN di lapangan manapun ia bermain.            

Pertentangan pun muncul. Jika SKN itu adalah syarat kualifikasi kemampuan keuangan dan permodalan untuk melaksanakan paket pekerjaan, apakah usaha kecil tidak perlu memiliki kemampuan keuangan dan permodalan untuk melaksanakan pekerjaan? Ini kedengaran aneh. Pertentangan berbalas balik. Tidakkah sudah jelas tersurat dalam aturan tersebut bahwa SKN dikecualikan untuk usaha mikro dan kecil. Yang dijadikan dasar adalah aturan, bukan asumsi atau logika. Tidak berhenti sampai di situ. Memang benar bahwa yang dijadikan acuan adalah aturan. Tetapi untuk menerapkan aturan dengan benar, maka terlebih dahulu harus memahami aturan tersebut. Bagaimana mungkin kita dapat memahami aturan tanpa logika. Salah menerapkan aturan akan berkonsekuensi hukum. Sementara hukum juga bekerja dengan logika. 

Nuansa diskusi semakin menghangat. Pembahasan tentang SKN cukup menyita perhatian, menarik semua Pokja Pemilihan untuk mengemukakan pendapat. Bikin gemas, menurtuku.  Pada akhirnya aturan ini tetap berlaku dan harus diterapkan secara tepat sasaran agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Yang pasti, masalah ini akan berlabuh pada kata terakhir yakni “solusi”. Kita tunggu pernyataan “pamungkas” dari LKPP….!!!



06 Februari 2019

BUKTI PEMBELIAN, KUITANSI ATAU SPK?


“Karena sejarah adalah pelajaran, maka tulislah gagasan yang bergentayangan di pikiranmu agar menjadi petilasan peradaban yang menyejarah. Entah yang dipelajari kekeliruannya agar dapat dievaluasi ataupun kebenarannya  untuk dijadikan acuan” (Titah Sunyi dari dalam Toilet)

Ada 5 (lima) Bentuk Kontrak yang dapat digunakan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai Perpres No. 16 Tahun 2018. Penggunaannya sesuai dengan nilai kontrak, jenis barang/jasa, metode pemilihan penyedia dan/atau resiko pekerjaan sesuai ketentuan peraturan perundangan. Kelima Bentuk Kontrak tersebut adalah:
  1. Bukti pembelian/pembayaran
  2. Kuitansi
  3. Surat Perjanjian Kerja (SPK)
  4. Surat Perjanjian, dan
  5. Surat Pesanan
Sebelumnya, istilah yang digunakan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah Tanda Bukti Perjanjian untuk dokemen tersebut di atas. Dalam Perpres No. 54 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres No. 4 Tahun 2015, ketentuan penggunaan Tanda Bukti Perjanjian diatur pada Pasal 55. Tanda bukti perjanjian terdiri atas:
  1. Bukti pembelian digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa yang nilainya sampai dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
  2. Kuitansi digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa yang nilainya sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  3. SPK digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan untuk Jasa Konsultansi dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  4. Surat Perjanjian digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai diatas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan untuk Jasa Konsultansi dengan nilai diatas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  5. Surat Pesanan digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa melalui E-Purchasing dan pembelian secara online.
Berdasarkan pembatasan tersebut, untuk Bukti Pembelian, Kuitansi dan SPK pada Pengadaan Barang dan Jasa Lainnya dapat digambar dengan grafik:
Grafiknya dibuat demikian karena tidak adanya nilai batas bawah untuk masing-masing jenis tanda bukti perjanjian. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa tanda bukti perjanjian dengan nilai yang lebih tinggi dapat digunakan untuk nilai di bawahnya. Penafsiran seperti ini bisa jadi hanya “spekulasi”, tetapi dalam prakteknya ternyata benar dilakukan.

Misalnya SPK masih disyaratkan sebagai tanda bukti perjanjian untuk pengadaan barang di bawah Rp50.000.000. Hal ini biasanya dilakukan oleh verifikator keuangan untuk memproses pembayaran dengan mekanisme pembayaran langusng (LS). Mungkin verifikator  mencari posisi aman dan menghindari temuan auditor sehingga digunakanlah SPK itu sebagai perisai dari kemungkinan cacat administrasi. Dalih yang biasanya digunakan adalah bahwa secara aturan memang tidak diperlukan SPK untuk pengadaan barang atau jasa lainnya dengan nilai di bawah Rp50.000.000, tetapi juga tidak melanggar aturan jika dibuatkan. Walaupun demikian, sangat disayangkan jika sesuatu yang sederhana dibuat menjadi rumit karena kekhawatiran yang berlebih.

Dalam Perpres No. 16 Tahun 2018, bentuk kontrak sudah lebih tegas diberikan batasan nilai pengadaan barang/jasa seperti disebutkan dalam Pasal 28 yang diabstraksikan pada tabel berikut:


Bentuk Kontrak
Barang
Konstruksi
Jasa Lainnya
Konsultansi
Bukti pembelian/pembayaran
10 juta
-
10 juta
-
Kuitansi
50 juta
-
50 juta
-
Surat Perjanjian Kerja (SPK)
> 50 juta s.d. 200 juta
200 juta
> 50 juta s.d. 200 juta
100 juta
Surat Perjanjian
> 200 juta
> 200 juta
> 200 juta
> 100 juta
Surat Pesanan
e-purchasing/pembelian melalui toko daring
-

Berdasarkan ketentuan ini, maka tidak ada lagi tumpang tindih pada batasan penggunaan bukti pembelian/pembayaran, kuitansi dan SPK.

Kehadiran Perpres No. 16 Tahun 2018 juga sudah lebih memperjelas mengenai perbedaan penafsiran dokumen kontrak. Perubahan istilah dari Tanda Bukti Perjanjian menjadi Bentuk Kontrak sudah cukup menghilangkan makna yang agak samar, apakah bukti perjanjian adalah kontrak yang dimaksudkan dalam salah satu syarat untuk memproses pembayaran.

Selanjutnya untuk bentuk kontrak, dalam Perpres No. 16 Pasal 28 ayat (7) disebutkan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung Kontrak, diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan/atau menteri yeng menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri."
Untuk bagian ini akan dibincang di lain waktu....., (padahal ngeles aja karena belum punya bahan).
Tulisan ini hanya pendapat peribadi. Jika ada keliru, langsung dikoreksi aja

03 Februari 2019

SISA KEMAMPUAN NYATA (SKN)


Sisa Kemampuan Nyata (SKN) merupakan salah satu syarat kualifikasi penyedia barang/jasa untuk mengikuti tender pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya . Syarat ini mulai diberlakukan sejak Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Ketentuan tentang SKN diatur pada Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2018 sebagaimana telah diamanatkan pada pasal 91 ayat (1) huruf l Perpres Nomor 16 Tahun 2018.

Persyaratan SKN bagi penyedia barang/jasa turut menghangatkan dinamika pendapat  Pokja Pemilihan UKPBJ Kota Bontang sejak diberlakukannya Perpres Nomor 16 Tahun 2018. Hal ini tak terelakkan ketika membaca Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia yang ditetapkan dengan Peratuaran LKPP Nomor 9 Tahun 2018. Sesuai pedoman tersebut pada nomor 3.4.3 huruf a disebutkan sebagai berikut:
Untuk Penyedia Non Kecil harus memiliki kemampuan keuangan berupa Sisa Kemampuan Nyata (SKN) yang disertai dengan laporan keuangan. Kemampuan Nyata adalah kemampuan penuh/keseluruhan Peserta saat penilaian kualifikasi meliputi kemampuan keuangan dan kemampuan permodalan untuk melaksanakan paket pekerjaan yang sedang/akan dikerjakan. SKN dikecualikan untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Akar silang pendapat bermula dari frasa “Penyedia Non Kecil”dan kalimat “SKN dikecualikan untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil”. Dari akar permasalahan tersebut, maka pokok-pokok perbedaan pendapat dapat dirumuskan pada dua kutub berikut:
A.    Kutub pertama dengan poros pemikiran sebagai berikut:
  1.  SKN hanya menjadi persyaratan untuk penyedia non kecil,yaitu perusahaan dengan kualifikasi non kecil yang secara administratif dibuktikan dengan izin usaha yang dimiliki (SIUP, IUI, IUJK, SBU dan lain-lain);
  2. Jika mengikuti tender paket non kecil pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dengan nilai paket lebih dari Rp2.500.000.000, maka perusahaan kualifikasi kecil tidak wajib memenuhi syarat SKN;

B.     Kutub kedua dengan poros pemikiran sebagai berikut:
1.     Maksud dari “untuk penyedia non kecil” pada Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa melalui Penyedia adalah nilai paket pekerjaan yang diperuntukkan bagi penyedia non kecil.
2.     SKN tetap diwajibkan bagi penyedia kualifikasi kecil ketika mengikuti tender dengan nilai paket non kecil;

Dari dua kutub pendapat tersebut, masing-masing mempunyai implikasi terhadap hasil evaluasi kualifikasi yang menysaratkan SKN.

Implikasi kutub pertama:
Pada tender paket non kecil pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya, peserta dengan kualifikasi kecil tidak dapat digugurkan jika tidak memenuhi syarat SKN dan sebaliknya peserta kualifikasi non kecil jadi gugur. Misalkan pada suatu tender paket non kecil yang diikuti peserta kualifikasi usaha kecil dan non kecil dengan sketsa situasi seperti berikut:
Nama Peserta
Kualifikasi Usaha
Syarat SKN
Hasil Evaluasi
Perusahaan A
Non kecil
Tidak memenuhi
Gugur
Perusahaan B
Kecil
Tidak memenuhi
Lulus

Implikasi kutub kedua:
Pada tender paket non kecil pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya, peserta dengan kualifikasi kecil maupun non kecil jika tidak memenuhi syarat SKN, maka sama-sama gugur. Maka situasinya menjadi:
Nama Peserta
Kualifikasi Usaha
Syarat SKN
Hasil Evaluasi
Perusahaan A
Non kecil
Tidak memenuhi
Gugur
Perusahaan B
Kecil
Tidak memenuhi
Gugur

Jika mengikuti pendapat kutub pertama, apakah ini salah satu aplikasi dari dari Pasal 5 huruf g Perpres 16 Tahun 2018, yaitu memberikan kesempatan kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah? Lalu bagaimana jika mengacu pada prinsip pengadaan barang/jasa yang salah satunya adalah adil sebagaimana pada pasal 6 huruf f? Jika merujuk pada makna kata “adil” sebagai tidak memihak dan berpegang pada kebenaran, maka akal akan menilai bahwa pendapat pertama adalah kacau karena menerapkan standar ganda pada satu prinsip yang sama. Jika pendapat ini diterapkan dalam suatu evaluasi pemilihan penyedia barang/jasa, maka akan menjadi celah bagi peserta untuk mengajukan sanggah. Namun begitu, pendapat kedua juga potensial mengundang sanggah jika Penyedia Non Kecil atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil dimaknai sebagai kualifikasi perusahaan.

Belum banyak pembahasan mengenai SKN di media online, tetapi masalah serupa pernah dibahas oleh Samsul Ramli di bolgnya mengenai syarat Kemampuan Dasar (KD). Akar permasalahannya juga  agak mirip. Kemampuan Dasar yang menjadi syarat penyedia barang/jasa diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 pasal 19 ayat (1) huruf h. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa salah satu syarat penyedia barang/jasa adalah memiliki Kemampuan Dasar (KD) untuk usaha non-kecil kecuali untuk Pengadaan Barang dan Jasa Konsultansi. Sekali lagi, di sini juga menggunakan frasa “usaha non-kecil”. Apakah yang dimaksudkan di sini adalah kualifikasi perusahaan atau klasifikasi paket pekerjaan? Tidak ada kewajiban untuk sependapat dengan Samsul Ramli, tetapi tidak ada salahnya mengikuti ulasannya di sini.

Dalam standar dokumen pemilihan untuk pekerjaan konstruksi yang dirilis oleh Kementerian PUPR melalui Peraturan Menteri PUPR Nomor 07/PRT/M/2019 tanggal 20 Maret 2019, kalusul tentang SKN dinyatakan sebagai berikut:
Memiliki Sisa Kemampuan Nyata (SKN) dengan nilai paling kurang sama dengan 10% (sepuluh perseratus) dari nilai total HPS, yang disertai dengan laporan keuangan (untuk pekerjaan yang diperuntukkan bagi Usaha Menengah dan Besar
Di sini diberikan keterangan “untuk pekerjaan yang diperuntukkan bagi Usaha Menengah dan Besar”. Jika keterangan ini diterima, maka sangat jelas yang dimaksudkan adalah klasifikasi paket pekerjaan. Bukan kualifikasi perusahaan. Artinya yang mengikat syarat SKN adalah klasifikasi paket pekerjaannya, dan apapun kualifikasi perusahaahn yang menjadi peserta, harus mememnuhi syarat paket pekerjaan yang diikutinya. Tetapi ini cuma standar dokumen yang bisa saja salah menafsirkan aturan yang ada. Seperti pula saya dan Anda bisa salah memahami penafsiran ini.

Sampai di sini, faham?
Mari berdiskusi, bukan ngotot tapi ngotak..........