“Sejernih dan setulus apapun ide yang
engkau cetuskan, tidak serta merta dapat diterima orang lain, apalagi diterima
sebagai kebenaran”
(Titah Sunyi dari dalam Toilet)
Tulisan
ini sedikit menyitir tentang pemberitaan yang dimuat di media daring Tribun Kaltim pada tanggal 23 Agustus
2019 berjudul Kadin
Adukan Panitia ULP ke Kejaksaan, Diduga Labrak Aturan Loloskan Pemenang Tender.
Diberitakan bahwa Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bontang
mengadukan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh panitia di Unit Lelang Pengadaan
(ULP) Kota Bontang. Menurutnya ada praktik persaingan tidak sehat di internal
ULP Bontang karena ada dua perusahaan menang tender proyek walaupun cacat
administrasi. Sebagaimana dibeberkan oleh ketua Kadin Bontang bahwa cacat
administrasi yang dimaksudkan adalah adanya perusahaan asal luar Bontang menang
proyek walaupun sudah melebih batas Sisa Kemampuan Paket (SKP). Dijelaskan
lebih lanjut bahwa SKP merupakan aturan main yang mengatur jumlah paket proyek
tiap perusahaan. Masing-masing perusahaan hanya diperbolehkan mendapat 5 proyek
selama satu tahun.
Di
sini tidak akan dibahas tentang proses hukum dari pengaduan tersebut, tetapi
semata ingin meluruskan penggunaan istilah dan penjelasannya yang keliru di
hadapan awak media. Entah kekeliruan ini terjadi karena yang bersangkutan sendiri
tidak memahami apa yang ia jelaskan, atau memahami tetapi keliru menyampaikan.
Hal ini penting diluruskan mengingat media ini diakses oleh publik yang
kemungkinan belum mengetahui tentang muatan pengaduan. Kesalahan publik dalam
memahami dapat berakibat fatal, karena berita ini dapat termobilisasi di
media-media sosial yang menyebabkan penghakiman sepihak tanpa mengerti duduk
persoalannya. Apalagi dalam redaksi pemberitaan tersebut, sangat jelas terlihat
bahwa penulis berita (jurnalis) sama sekali tidak memahami istilah yang digunakan sehingga
tidak memberikan penjelasan tambahan dari penggunaan istilah yang dimaksud.
UKPBJ,
bukan ULP
Kekeliruan
pertama adalah penyebutan nama unit kerja. Dalam judul berita sangat jelas
tertulis ULP yang selanjutnya dalam isi berita dijelaskan bahwa ULP adalah
singkatan dari Unit Lelang Pengadaan. Bagi masyarakat awam, istilah ini
tentu kurang familiar, tetapi bagi pelaku usaha yang sering mengikuti tender
pengadaan barang/jasa pemerintah, istilah ULP ini tidaklah asing. Penyebutan
ULP digunakan dalam Perturan Presiden nomor 54 Tahun 2010. Dalam Pasal 1 ayat
(8) disebutkan bahwa Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP
adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau
melekat pada unit yang sudah ada. Di sini jelas kekeliruannya adalah mengganti
kata “Layanan” menjadi “Lelang”. Ini tentu bukan masalah serius bagi pelapor
karena kepentingan utamanya adalah bagaimana laporannya diterima oleh pihak
kejaksaan dan diberitakan oleh media meskipun menggunakan istilah yang salah
kaprah. Tetapi dari segi administrasi, ini adalah kesalahan serius. Jika dalam
pengaduannya, pelapor membuat laporan resmi, maka jelas ini kesalahan penyebutan
nama. Kesalahan penyebutan nama dalam
dokumen resmi dapat menyebabkan dokumen tersebut memiliki celah hukum sehingga dapat ditolak.
Tidak
cukup sampai di situ, kekeliruan selanjutnya adalah karena saat ini istilah ULP
sudah tidak digunakan sejak terbitnya Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018.
Dalam Perpres ini, istilah yang digunakan adalah UKPBJ. Dalam Pasal 1 ayat (11)
dijelaskan bahwa Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat
UKPBJ adalah unit kerja di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menjadi
pusat keunggulan Pengadaan Barang/Jasa. Dalam percakapan sehari-hari, istilah
ULP saat ini memang masih sering digunakan mengingat perubahan nama menjadi
UKPBJ baru diundangkan pada tanggal 22 Maret 2018. Tetapi penyebutan ULP
tersebut tentu tidak untuk digunakan dalam situasi formal, termasuk membuat
laporan pengaduan ke kejaksaan.
Praktik
Persaingan tidak Sehat
Selanjutnya
dalam pengaduannya ketua Kadin Bontang menyebutkan bahwa ada persaingan tidak
sehat di internal ULP Bontang. Penyebutan frasa “praktik persaingan tidak sehat”
ini cukup menimbulkan tanya. Jika ada persingan tidak sehat, tentu ada
persaingan yang sehat. Ini aneh, karena UKPBJ tidak memiliki fungsi menjalankan
usaha atau bisnis, tetapi tidak lebih sebagai fungsi pelayanan.
Pengertian
persaingan
adalah proses sosial yang melibatkan individu atau kelompok yang saling
berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai kemenangan tertentu. Persaingan
dapat terjadi apabila beberapa pihak menginginkan sesuatu yang terbatas atau
sesuatu yang menjadi pusat perhatian umum. Jika kita mengacu pada pengertian tersebut,
maka dalam menjalankan fungsinya, tidak akan ada persaingan dalam internal
UKPBJ. Karena tidak ada sesuatu yang diperebutkan atau hendak dimenangkan.
5
Proyek Selama Satu Tahun
Pokok
masalah yang diadukan oleh Ketua Kadin Bontang adalah mengenai SKP atau Sisa
Kemampuan Paket. Istilah SKP sendiri ditemui dalam lampiran Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 07/PRT/M/2019 tentang Standar dan
Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia. Dalam standar dokumen
pemilihan pengadaan pekerjaan konstruksi disebutkan sebagai berikut:
“Dalam hal peserta diketahui mengikuti beberapa paket pekerjaan yang ditenderkan oleh beberapa Pokja Pemilihan dalam waktu yang bersamaan dan telah ditetapkan menjadi pemenang pada beberapa paket tersebut, dilakukan perhitungan ulang sisa kemampuan menangani paket (SKP) (untuk usaha kecil)/sisa kemampuan nyata (SKN) (untuk usaha menengah dan besar).”
Perhitungan
ulang SKP yang dimaksudkan di sini dilakukan pada tahap penetapan pemenang.
Karena sebelumnya, pada tahap evaluasi kualifikasi sudah dilakukan perhitungan
SKP dengan rumus:
SKP = 5 – P, dimana P adalah Paket pekerjaan yang sedang dikerjakan (hanya untuk pekerjaan yang diperuntukkan bagi Kualifikasi Usaha Kecil)
Di
mana letak kesalahan penjelasan Ketua Kadin Bontang dalam pengaduan tersebut?
Kita kutip kembali isi pernyataannya sebagai berikut:
“SKP merupakan aturan main yang mengatur jumlah paket proyek tiap perusahaan. Masing-masing perusahaan hanya diperbolehkan mendapat 5 proyek selama satu tahun."
Penekanannya
pada bagian “5 proyek selama satu tahun”. Orang awam tentu dengan mudah
memahami ini bahwa pelaku usaha tidak boleh mengerjakan lebih dari 5 proyek
dalam satu tahun. Kekeliruan pernyataan ini dapat dipahami setelah melihat
rumus perhitungan SKP di atas. Dalam rumus terseubut dijelaskan bahwa P adalah
paket pekerjaan yang sedang dikerjakan. Artinya paket pekerjaan dalam tahun
tersebut yang sudah selesai kontrak tentu tidak masuk dalam perhitungan.
Misalnya
Perusahaan A pada bulan Agustus tahun 2019 mengikuti tender paket pekerjaan
konstruksi. Dalam isian kualifikasi, perusahaan tersbut memiliki 4 pekerjaan
yang sedang dikerjakan, sementara Pokja Pemilihan mengetahui dari informasi
tender sebelumnya bahwa perusahaan tersebut pernah memenangkan 2 paket
pekerjaan, namun sudah selesai kontrak sejak bulan Mei 2019. Berarti sampai
bulan Agustus tahun 2019 perusahaan
tersebut telah mendapatkan pekerjaan sebanyak 6 paket. Jika kembali mengkuti tender,
bagaimana perhitungan SKP-nya?
Perhitungan
SKP Perusahaan A adalah:
SKP
= 5 – 4 = 1 paket
Mengapa
P = 4 sementara perusahaan tersebut telah mendapat 6 paket pekerjaan pada tahun
2019? Di sinilah kekeliruan penjelasan Ketua Kadin Bontang tersebut. Karena
sangat terang dalam penjelasan rumus SKP, bahwa P adalah paket pekerjaan yang sedang
dikerjakan. Sedang dikerjakan berarti kontrak masih berjalan sehingga dalam
SKP tidak diperhitungkan paket yang sudah selesai kontrak meskipun dalam
tahun yang sama.
Singkatnya,
SKP tidak membatasi paket pekerjaan dalam setahun, tetapi membatasi paket
pekerjaan dalam waktu pelaksanaan berimpit atau bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar