27 Agustus 2019

BEBERAPA KEKELIRUAN PERNYATAAN KETUA KADIN BONTANG


“Sejernih dan setulus apapun ide yang engkau cetuskan, tidak serta merta dapat diterima orang lain, apalagi diterima sebagai kebenaran”
 (Titah Sunyi dari dalam Toilet)

Tulisan ini sedikit menyitir tentang pemberitaan yang dimuat di media daring Tribun Kaltim pada tanggal 23 Agustus 2019 berjudul Kadin Adukan Panitia ULP ke Kejaksaan, Diduga Labrak Aturan Loloskan Pemenang Tender. Diberitakan bahwa Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bontang mengadukan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh panitia di Unit Lelang Pengadaan (ULP) Kota Bontang. Menurutnya ada praktik persaingan tidak sehat di internal ULP Bontang karena ada dua perusahaan menang tender proyek walaupun cacat administrasi. Sebagaimana dibeberkan oleh ketua Kadin Bontang bahwa cacat administrasi yang dimaksudkan adalah adanya perusahaan asal luar Bontang menang proyek walaupun sudah melebih batas Sisa Kemampuan Paket (SKP). Dijelaskan lebih lanjut bahwa SKP merupakan aturan main yang mengatur jumlah paket proyek tiap perusahaan. Masing-masing perusahaan hanya diperbolehkan mendapat 5 proyek selama satu tahun.

Di sini tidak akan dibahas tentang proses hukum dari pengaduan tersebut, tetapi semata ingin meluruskan penggunaan istilah dan penjelasannya yang keliru di hadapan awak media. Entah kekeliruan ini terjadi karena yang bersangkutan sendiri tidak memahami apa yang ia jelaskan, atau memahami tetapi keliru menyampaikan. Hal ini penting diluruskan mengingat media ini diakses oleh publik yang kemungkinan belum mengetahui tentang muatan pengaduan. Kesalahan publik dalam memahami dapat berakibat fatal, karena berita ini dapat termobilisasi di media-media sosial yang menyebabkan penghakiman sepihak tanpa mengerti duduk persoalannya. Apalagi dalam redaksi pemberitaan tersebut, sangat jelas terlihat bahwa penulis berita (jurnalis) sama sekali tidak memahami istilah yang digunakan sehingga tidak memberikan penjelasan tambahan dari penggunaan istilah yang dimaksud.

UKPBJ, bukan ULP
Kekeliruan pertama adalah penyebutan nama unit kerja. Dalam judul berita sangat jelas tertulis ULP yang selanjutnya dalam isi berita dijelaskan bahwa ULP adalah singkatan dari Unit Lelang Pengadaan. Bagi masyarakat awam, istilah ini tentu kurang familiar, tetapi bagi pelaku usaha yang sering mengikuti tender pengadaan barang/jasa pemerintah, istilah ULP ini tidaklah asing. Penyebutan ULP digunakan dalam Perturan Presiden nomor 54 Tahun 2010. Dalam Pasal 1 ayat (8) disebutkan bahwa Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Di sini jelas kekeliruannya adalah mengganti kata “Layanan” menjadi “Lelang”. Ini tentu bukan masalah serius bagi pelapor karena kepentingan utamanya adalah bagaimana laporannya diterima oleh pihak kejaksaan dan diberitakan oleh media meskipun menggunakan istilah yang salah kaprah. Tetapi dari segi administrasi, ini adalah kesalahan serius. Jika dalam pengaduannya, pelapor membuat laporan resmi, maka jelas ini kesalahan penyebutan nama. Kesalahan penyebutan nama dalam dokumen resmi dapat menyebabkan dokumen tersebut memiliki celah hukum sehingga dapat ditolak.

Tidak cukup sampai di situ, kekeliruan selanjutnya adalah karena saat ini istilah ULP sudah tidak digunakan sejak terbitnya Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018. Dalam Perpres ini, istilah yang digunakan adalah UKPBJ. Dalam Pasal 1 ayat (11) dijelaskan bahwa Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat UKPBJ adalah unit kerja di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menjadi pusat keunggulan Pengadaan Barang/Jasa. Dalam percakapan sehari-hari, istilah ULP saat ini memang masih sering digunakan mengingat perubahan nama menjadi UKPBJ baru diundangkan pada tanggal 22 Maret 2018. Tetapi penyebutan ULP tersebut tentu tidak untuk digunakan dalam situasi formal, termasuk membuat laporan pengaduan ke kejaksaan.

Praktik Persaingan tidak Sehat
Selanjutnya dalam pengaduannya ketua Kadin Bontang menyebutkan bahwa ada persaingan tidak sehat di internal ULP Bontang. Penyebutan frasa “praktik persaingan tidak sehat” ini cukup menimbulkan tanya. Jika ada persingan tidak sehat, tentu ada persaingan yang sehat. Ini aneh, karena UKPBJ tidak memiliki fungsi menjalankan usaha atau bisnis, tetapi tidak lebih sebagai fungsi pelayanan.

Pengertian persaingan adalah proses sosial yang melibatkan individu atau kelompok yang saling berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai kemenangan tertentu. Persaingan dapat terjadi apabila beberapa pihak menginginkan sesuatu yang terbatas atau sesuatu yang menjadi pusat perhatian umum. Jika kita mengacu pada pengertian tersebut, maka dalam menjalankan fungsinya, tidak akan ada persaingan dalam internal UKPBJ. Karena tidak ada sesuatu yang diperebutkan atau hendak dimenangkan.

5 Proyek Selama Satu Tahun
Pokok masalah yang diadukan oleh Ketua Kadin Bontang adalah mengenai SKP atau Sisa Kemampuan Paket. Istilah SKP sendiri ditemui dalam lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 07/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia. Dalam standar dokumen pemilihan pengadaan pekerjaan konstruksi disebutkan sebagai berikut:
“Dalam hal peserta diketahui mengikuti beberapa paket pekerjaan yang ditenderkan oleh beberapa Pokja Pemilihan dalam waktu yang bersamaan dan telah ditetapkan menjadi pemenang pada beberapa paket tersebut, dilakukan perhitungan ulang sisa kemampuan menangani paket (SKP) (untuk usaha kecil)/sisa kemampuan nyata (SKN) (untuk usaha menengah dan besar).”
Perhitungan ulang SKP yang dimaksudkan di sini dilakukan pada tahap penetapan pemenang. Karena sebelumnya, pada tahap evaluasi kualifikasi sudah dilakukan perhitungan SKP dengan rumus:
SKP = 5 – P, dimana P adalah Paket pekerjaan yang sedang dikerjakan (hanya untuk pekerjaan yang diperuntukkan bagi Kualifikasi Usaha Kecil)
Di mana letak kesalahan penjelasan Ketua Kadin Bontang dalam pengaduan tersebut? Kita kutip kembali isi pernyataannya sebagai berikut:
“SKP merupakan aturan main yang mengatur jumlah paket proyek tiap perusahaan. Masing-masing perusahaan hanya diperbolehkan mendapat 5 proyek selama satu tahun."
Penekanannya pada bagian “5 proyek selama satu tahun”. Orang awam tentu dengan mudah memahami ini bahwa pelaku usaha tidak boleh mengerjakan lebih dari 5 proyek dalam satu tahun. Kekeliruan pernyataan ini dapat dipahami setelah melihat rumus perhitungan SKP di atas. Dalam rumus terseubut dijelaskan bahwa P adalah paket pekerjaan yang sedang dikerjakan. Artinya paket pekerjaan dalam tahun tersebut yang sudah selesai kontrak tentu tidak masuk dalam perhitungan.

Misalnya Perusahaan A pada bulan Agustus tahun 2019 mengikuti tender paket pekerjaan konstruksi. Dalam isian kualifikasi, perusahaan tersbut memiliki 4 pekerjaan yang sedang dikerjakan, sementara Pokja Pemilihan mengetahui dari informasi tender sebelumnya bahwa perusahaan tersebut pernah memenangkan 2 paket pekerjaan, namun sudah selesai kontrak sejak bulan Mei 2019. Berarti sampai bulan Agustus tahun 2019  perusahaan tersebut telah mendapatkan pekerjaan sebanyak 6 paket. Jika kembali mengkuti tender, bagaimana perhitungan SKP-nya?

Perhitungan SKP Perusahaan A adalah:
SKP = 5 – 4 = 1 paket

Mengapa P = 4 sementara perusahaan tersebut telah mendapat 6 paket pekerjaan pada tahun 2019? Di sinilah kekeliruan penjelasan Ketua Kadin Bontang tersebut. Karena sangat terang dalam penjelasan rumus SKP, bahwa P adalah paket pekerjaan yang sedang dikerjakan. Sedang dikerjakan berarti kontrak masih berjalan sehingga dalam SKP tidak diperhitungkan paket yang sudah selesai kontrak meskipun dalam tahun yang sama.

Singkatnya, SKP tidak membatasi paket pekerjaan dalam setahun, tetapi membatasi paket pekerjaan dalam waktu pelaksanaan berimpit atau bersamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar