Akan halnya dengan aktivitas Pokja Pemilihan, di sini akan dikisahkan beberapa cerita rekaan yang akan menunjukkan bagaimana pengaruh masa kecil yang tertanam kuat di alam bawah sadar, ternyata kelak menjadi trik pembenaran suatu kesalahan atau menyalahkan sesuatu yang benar lantas dianggap sesuatu yang lumrah tanpa perlu dipertanyakan. Agar terkesan memperlihatkan kedewasaan berpikir, maka trik tersebut diberi kesan logis dengan memberikan sistem penjelas dengan sedikit gaya retorik.
Salahnya Pokja Tidak Melakukan Klarifikasi
Baiklah. Cerita kita mulai dari kisah Pokja Pemilihan yang turut terpanggil oleh aparat penegak hukum dalam suatu kasus pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh peserta untuk memenuhi syarat dokumen penawaran dalam suatu tender. Pemalsuan yang kemudian diketahui setelah berjalannya pelaksanaan kontrak tersebut ditangani oleh aparat penegak hukum. Pokja Pemilihan yang dianggap sebagai pihak terkait dengan adanya kontrak tersebut dipanggil untuk memberi keterangan. Dalam pemberian keterangan tersebut, sangat jelas pertanyaaan aparat penegak hukum hendak menggiring kasus tersebut sebagai SALAHNYA POKJA. Alasannya sederhana. Pokja Pemilihan dianggap lalai melaksanakan tugasnya karena tidak melakukan klarifikasi untuk memastikan kebenaran data atau dokumen penawaran yang disampaikan peserta tender yang kemudian dinyatakan sebagai pemenang dan telah berkontrak. Bukan hanya dari aparat penegak hukum, pihak lain pun turut berkomentar bahwa memang SALAHNYA POKJA karena menurutnya cukup jelas terlihat atau sangat kuat dugaan bahwa dokumen penawaran peserta tender meragukan. Sayangnya, komentar tersebut diberikan setelah mengetahui adanya laporan atau santernya kabar pemalsuan dokumen. Memang dalam masa evaluasi penawaran hanya Pokja Pemilihan yang menangani tender tersebut yang berhak membuka dan mengevaluasi penawaran sehingga tentu tidak ada wewenang yang berkomentar tersebut untuk melihat dokomen penawaran tersbut lebih dini. Namun andaikan mereka pada saat itu bertugas sebagai Pokja Pemilihan pada tender tersebut, apakah bisa memastikan dapat melihat atau menyadari adanya hal yang meragukan pada saat evaluasi? Maka saya hanya akan percaya jika waktu dapat diputar kembali dengan menghapus segala memori saat ini dan bertukar posisi sebagai Pokja Pemilihan pada tender tersebut. Jika tidak, saya hanya melihatnya sebagai kesombongan mempertuhankan diri yang dapat memastikan segala sesuatu.
Dalam batas yang dapat dilakukan oleh Pokja Pemilihan dengan kewenangannya dapat melakukan klarifikasi terhadap data atau dokumen yang disampaikan oleh peserta tender. Namun untuk melakukan klarifikasi, Pokja Pemilihan terlebih dahulu sudah mendapatkan sinyal yang menjadi alasan untuk melakukan klarifikasi. Sinyal yang dimaksud adalah ketika Pokja Pemilihan melihat adanya sesuatu yang meragukan pada data atau dokumen penawaran peserta tender. Sayangnya, sensor untk menangkap sinyal tersebut berbeda tingkat sensitifitasnya bagi setiap personel Pokja Pemilihan. Sensifitas sensor tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman, kecakapan dan tentu saja kejelian dan kecermatan melakukan evaluasi. Tentu tidak dapat diabaikan faktor psikologis. Jika sinyalnya cukup kuat, misalnya sesatu yang meragukan tersebut dengan gamblang dapat dilihat, maka dengan mudah dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang meragukan. Adanya perbedaan tingkat sensitifitas sensor tersebut dapat menjadi celah bagi pihak lain yang kemudian dapat melihat atau menyadari adanya sesuatu yang meragukan untuk menyatakan bahwa SALAHNYA POKJA tidak melakukan klarifikasi.
Apakah tidak boleh melakukan klarifikasi ketika Pokja Pemilihan tidak menangkap adanya sinyal tersebut? Tentu saja boleh. Itu adalah hak 'prerogatif' Pokja Pemilihan. Bahkan Pokja Pemilihan boleh saja menggunakan subyektifitas untuk meragukan sesuatu dalam dokumen penawaran peserta tender. Krena subyektif, maka perlu dibuktikan dengan klarifikasi. Ketika Pokja Pemilihan menggunakan haknya untuk mengklarifikasi, maka kewajiban bagi peserta tender untuk menanggapi. Jika peserta tidak merespon permintaaan klarifikasi oleh Pokja Pemilihan, maka konseukensinya cukup jelas dinyatakan dalam Dokumen Pemilihan bahwa peserta tender tersebut dinyatakan gugur, kecuali klarifikasi ketimpangan harga satuan. Jika klarifikasi dilakukan ke pihak lain yang terkait dengan data atau dokumen penawaran, pihak lain tersebut memiliki hak untuk menolak atau tidak menanggapi. Tetapi penolakan atau pengabaian tersebut menjadi alasan yang cukup bagi Pokja Pemilihan untuk menyatakan bahwa data atau dokumen tidak dapat diklarifikasi. Konsekuensinya adalah Pokja Pemilihan dapat menyatakan peserta tender tersebut gugur. Mengapa dapat? Apakah salah jika dinyatakan lulus dengan alasan bahwa Pokja Pemilihan tidak mendapat jawaban klarifikasi benar atau tidak dokumen tersebut? Tidak salah, tetapi ada juga konsekuensinya. Konsekuensinya adalah ketika di kemudian hari ditemukan bukti bahwa dokumen tersebut tidak benar atau palsu, maka siapa pun termasuk aparat penegak hukum akan beranggapan bahwa itu adalah SALAHNYA POKJA yang meluluskan penawaran dari peserta tender yang tidak dapat diklarifikasi. Mengapa dapat dinyatakan lulus, tetapi dapat pula dinyatakan gugur? Bagi Pokja Pemilihan, dasar untuk menyatakan lulus adalah pernyataan yang sudah disetujui oleh peserta tender dalam Dokumen Pemilihan bahwa data atau dokumen yang disampaikan dalam penawaran adalah benar. Dasar ini pulalah yang menjadi pegangan sehingga klarifikasi bersifat tidak wajib.
Salahnya Pokja Kurang Cermat Mereviu Dokumen Persiapan
Di kisah yang lain, ada Pejabat Penandatangan Kontrak yang keliru melakukan adandum kontrak. Pasalnya Pejabat Penandatangan Kontrak tersebut melakukan perubahan jenis kontrak dari kontrak lumsum menjadi kontrak harga satuan. Celakanya, Pejabat Penandatangan Kontrak tidak mengetahui bahwa jenis kontrak termasuk salah satu yang dikompetisikan pada tahap pemilihan sehingga tidak boleh diubah setelah berkontrak. Setelah mendapatkan informasi mengenai tidak boleh diubahnya jenis kontrak dalam adendum kontrak, maka dilakukanlah pembahasan mengenai masalah tersebut. Entah bagaimana kelanjutan kisahnya, namun kekeliruan Pejabat Penandatangan Kontrak dengan sangat mudah dilemparkan sebagai SALAHNYA POKJA. Bagaimana bisa? Karena Pokja Pemilihan kurang cermat melakukan reviu dokumen persiapan pemilihan yang disampaikan oleh PPK.
Pokja Pemilihan dituntut memahami segala sesuatu terkait pengadaan barang/jasa mulai dari tahap identifikasi kebutuhan sampai serah terima hasil pekerjaan. Itulah sebabnya Perpres 12 Tahun 2021 dalam batas tertentu mengamanatkan bahwa tugas sebagai Pokja Pemilihan wajib dilaksanakan oleh Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Kompetensi Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa meliputi semua tahap pengadaan barang/jasa. Manusia Super ini 'dituntut tidak boleh keliru' karena jika ada masalah dalam pengadaan barang/jasa, maka Pokja Pemilihan atau Pejabat Pengadaaan yang paling mudah disalahkan.
Mereviu dokumen persiapan pengadaan adalah tugas Pokja Pemilihan. Saat mereviu, Pokja Pemilihan dapat mengusulkan perubahan atau perbaikan jika menemukan ada yang kurang atau tidak sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku. Meskipun sudah melalui tahap reviu oleh Pokja Pemilihan, tanggung jawab sepenuhnya tetap pada PPK terhadap apa yang tertuang dalam dokumen persiapan pengadaan. Apa akibatnya jika usulan perubahan dari Pokja Pemilihan ternyata kemudian malah yang keliru atau tidak sesuai ketentuan? Tidak ada kewajiban bagi PPK untuk menerima usulan Pokja Pemilihan. Jika usulan perubahan oleh Pokja Pemilihan diterima lalu dituangkan oleh PPK dalam revisi dokumen persiapan pengadaan, maka dokumen teresebut tetap menjadi tanggung jawab PPK. Walaupun kemudian ketika ternyata usulan tersebut keliru, maka sangat mudah bagi PPK untuk menyatakan bahwa itu adalah SALAHNYA POKJA.
Salahnya Pokja Memilih Penyedia Barang/Jasa tidak Becus
Pada suatu kontrak pengadaan barang/jasa, penyedia tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang berujung pada pemutusan kontrak. Penyedia yang ketika mengikuti tender sudah dinyatakan memenuhi persyaratan secara administratif. Dua diantara syarat tender tersebut adalah kemampuan finansial dan dukungan dari penyuplai material. Dua syarat ini pulalah yang kemudian tidak dapat dipenuhi oleh penyedia dalam tahap pelaksanaan sehinggga pekerjaan menyisakan berbagai masalah. Macetnya proyek ini mengundang banyak komentar, termasuk dari pihak legislatif. Tidak panjang cerita dan tidak perlu banyak diskusi, dengan mudah dapat dinyatakan bahwa salah satu sebabnya adalah SALAHNYA POKJA yang kurang kompeten memilih penyedia.
Pemilihan penyedia yang dilakukan oleh Pokja Pemilihan sepenuhnya bersifat administratif. Syarat-syarat administratif yang diharapkan menggambarkan kemampuan kinerja penyedia tidak serta-merta menjadi jaminan bahwa peserta tender yang terpilih sebagai penyedia tersebut pasti sanggup melaksanakan pekerjaan dengan baik. Syarat adminstratif adalah performa minimal yang harus dibarengi dengan pengendalian kontrak pada tahap pelaksanaan pekerjaan.
Mudah Disalahkan dan Mudah Dilupakan
Menjadi yang sering dan mudah disalahkan bukan berarti alasan bagi Pokja Pemilihan mencari pembenaran atas kelalaiannya. Yang harus dilakukan adalah memaksimalkan kompetensi dan bekerja sebaik-baiknya agar terhindar dari kesalahan yang fatal. Lalai bukan karena suatu kesengajaan adalah ruang untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kompetensi dengan terus belajar. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai pembelaan, tetapi sebagai ajakan untuk melihat setiap masalah secara proporsional. Bagi Pokja Pemilihan, menjadi sebagai yang paling sering dan mudah disalahkan adalah bukti besarnya tanggung jawab yang harus diimbangi dengan besarnya kompetensi, kuatnya karakter dan integritas.
Menjadi sebagai yang sering dipanggil atau diperiksa ketika ada masalah dalam pengadaan barang/jasa menuntut jiwa besar Pokja Pemilihan dan tidak pecah nyalinya ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum. Pokja Pemilihan harus menyadari bahwa aparat penegak hukum juga tengah menjalankan tugas yang mungkin saja didasari adanya kecurigaan seperti halnya Pokja Pemilihan curiga dengan hal-hal yang meragukan dalam penawaran peserta tender.
Menjadi sebagai yang sering dan mudah disalahkan menjadikan Pokja Pemilihan sebagai selebriti pengadaan barang/jasa. Gerak-geriknya senantiasa menjadi sorotan, namun bukan dari penggemar, melainkan dari kelompok 'sakit hati' yang tak siap berkompetisi. Bahkan gerak-geriknya pun menjadi incaran 'aparat nakal' untuk mendapatkan 'jatah' dan menggembungkan pundi-pundi.
Menjadi sebagai yang sering dan mudah disalahkan bukan alasan bagi Pokja Pemilihan untuk pasrah tak berdaya berada di bawah tekanan berbagai kepentingan busuk dan jahat.
Menjadi sebagai yang sering dan mudah disalahkan pun tidak cukup menjadi alasan untuk memberi perlindungan hukum dan penghasilan memadai bagi Pokja Pemilihan. Pahit memang!😆
Menjadi sebagai yang sering dan mudah disalahkan harusnya menjadi tempaan mental bagi Pokja Pemilihan untuk lebih ikhlas, sabar dan berjiwa lapang ketika kemudian yang paling mudah dilupakan ketika hasil kerjanya berjalan lancar. Bahkan ketika ada masalah pengadaan dan Pokja Pemilihan harus beradu argumentasi dengan aparat penegak hukum, memenuhi panggilan demi panggilan pemeriksaan yang melelahkan hingga kemudian terbukti bahwa Pokja Pemilihan telah menjalankan tugas dengan benar, maka ketika semuanya berlalu, Pokja Pemilihan pun dilupakan. Misalnya, dalam suatu peresmian pembangunan gedung yang sukses berkat jasa banyak pihak, maka diundanglah pihak-pihak tersebut untuk menghadiri seremoni gunting pita, kecuali Pokja Pemilihan😂
Dislcaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Bukan untuk dipedomani. Jika ada khilaf-keliru di dalamnya, maka saya jamin itu bukan SALAHNYA POKJA. Jika cerita yang dimuat di dalamnya terdapat kemiripan dengan kasus atau peristiwa di sekitar Anda, maka itu hanya kebetulan dijadikan inspirasi dan tidak ada maksud menghakimi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar