08 Januari 2025

BELANJA PERJALANAN DINAS TERMASUK PENGADAAN ATAU NON PENGADAAN?

Penafian

Tulisan ini adalah opini, dimaksudkan sebagai bahan diskusi dan berbagi perspektif. Berdiskusi sebagai jalan menyerap pikiran dari sudut pandang berbeda untuk menemukan keselarasan pendapat yang saling menguatkan, bukan perisai diri untuk menangkis perbedaan dan memblokade jalan pikiran. Suatu pendapat bisa bernilai benar atau salah, namun penilaiannya tidak ditentukan dari kesamaan atau perbedaan dengan pendapat suatu pihak.

Perencanaan pengadaan barang/jasa meliputi: identifikasi pengadaan barang/jasa, penetapan jenis barang/jasa, cara pengadaan, pemaketan dan konsolidasi, waktu pemanfaatan dan anggaran pengadaan. Hasil perencanaan pengadaan dimuat dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP). RUP adalah daftar rencana pengadaan barang/jasa yang akan dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah. RUP diumumkan melalui aplikasi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP).

Dari hasil penelusuran data RUP berbagai K/L/PD di aplikasi SiRUP tahun anggaran 2024, pada umumnya Belanja Perjalanan Dinas ditandai sebagai paket Swakelola. Namun ada pula yang tidak mengumumkan sehingga dipastikan bahwa Belanja Perjalanan Dinas dimasukkan dalam kategori Non Pengadaan. Sebutan Non Pengadaan (NP) ditemukan pada aplikasi SIRUP sebagai tagging (penanda) untuk kategori belanja yang tidak dilaksanakan dengan proses pengadaan barang/jasa, baik melalui swakelola maupun penyedia. 

Pada aplikasi SiRUP, data RKA dapat ditarik (generated) dari aplikasi SIPD. Hasil penarikan data perlu diidentifikasi untuk menandai  sebagai paket Penyedia, Swakelola, Penyedia dalam Swakelola, Non Pengadaan dan/atau tahun jamak. Kode akun belanja RKA yang ditarik ke aplikasi SiRUP, yaitu kode akun belanja operasi (kode 5.1), belanja barang dan jasa (kode 5.1.02), belanja hibah (kode 5.1.05), belanja bantuan sosial (kode 5.1.06), belanja modal (kode 5.2) dan belanja tidak terduga (kode 5.3). Pada aplikasi SIRUP terdapat keterangan bahwa pagu pengadaan (selain dari kode akun 5.1.01, 5.1.03, 5.1.04 dan 5.4 dan tagging NP) otomatis terisi apabila sudah melakukan penarikan data RKAD dari aplikasi SIPD. Keterangan ini memberi penjelasan bahwa yang dikategorikan belanja Non Pengadaan adalah belanja pegawai (5.1.01), belanja bunga (5.1.03), belanja subsidi (5.1.04) dan belanja transfer (5.4).

Mengacu kepada Peraturan LKPP Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pedoman Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, akun belanja yang diasosiasikan dengan belanja pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah terdapat pada akun belanja operasional yaitu akun belanja barang/jasa (5.01.02) dan akun belanja modal (5.02). Namun tidak tertutup kemungkinan belanja pengadaan Pemerintah Daerah terdapat pula pada akun belanja hibah (5.01.05), belanja bantuan sosial (5.01.06), dan belanja tidak terduga (5.03). Sebaliknya tidak seluruh paket kegiatan pada akun belanja barang/jasa (5.01.02) bisa dikategorikan sebagai belanja pengadaan. Berdasarkan penjelasan ini, maka hasil penarikan data dari SIPD untuk akun belanja barang/jasa (5.01.02) perlu diidentifikasi apakah termasuk belanja pengadaan atau non pengadaan.

Posisi belanja perjalanan dinas dalam struktur APBD berada pada jenis Belanja Barang dan Jasa dengan struktur sebagai berikut: 

Kode

Uraian Akun

Sumber Dana

Kelompok

Jenis

Objek

5

 

 

 

Belanja daerah

5

1

 

 

Belanja operasi

5

1

01

 

Belanja pegawai

5

1

02

 

Belanja barang dan jasa

5

1

02

01

Belanja barang

5

1

02

02

Belanja jasa

5

1

02

03

Belanja pemeliharaan

5

1

02

04

Belanja perjalanan dinas

5

1

02

05

Belanja barang dan/atau jasa untuk diserahkan/dijual/ diberikan kepada masyarakat/pihak ketiga

 

  • Apa patokan untuk mengidentifikasi belanja non pengadaan pada akun belanja barang/jasa (5.01.02), belanja hibah (5.01.05) dan belanja bantuan sosial (5.01.06)? Yang pertama kali harus dikenali adalah kelompok belanja yang termasuk kategori pengadaan, yaitu melalui proses pengadaan barang/jasa sesuai peraturan. Peraturan yang digunakan adalah Peraturan Presiden nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021. Peraturan turunannya adalah:
    1. Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia
    2. Peraturan LKPP Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola
    3. Peraturan LKPP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa yang Dikecualikan pada Pengadaan barang/Jasa Pemerintah

    Untuk belanja perjalanan dinas, terdiri dari beberapa komponen biaya yang dibayarkan kepada pelaku perjalanan dinas dengan cara penggantian biaya. Perjalanan dinas jabatan terdiri atas komponen berikut:

    a. Uang harian
    Satuan biaya uang harian perjalanan dinas dalam negeri merupakan penggantian biaya keperluan sehari-hari pejabat negara, pejabat daerah. Aparatur sipil negara dan pihak lain dalam menjalankan perintah perjalanan dinas. Penggantian biaya keperluan sehari-hari meliputi keperluan uang saku, keperluan transportasi lokal dan keperluan makan. Penggantian biaya diberikan secara lumpsum.
    b. Biaya transport
    Terdiri atas biaya tiket pesawat, biaya taksi, biaya transportasi darat dari ibukota provinsi ke kabupaten/kota dalam provinsi yang sama. Penggantian biaya diberikan berdasarkan pengeluaran riil (at cost).
    c. Biaya penginapan
    Penggantian biaya penginapan  berdasarkan pengeluaran riil (at cost).
    d. Uang representasi perjalanan dinas
    Uang representasi perjalanan dinas hanya diberikan kepada pejabat negara, pejabat daerah, pejabat eselon I dan pejabat eselon II yang melaksanakan perjalanan dinas jabatan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi yang melekat pada jabatan. Uang representasi perjalanan dinas diberikan sebagai pengganti atas pengeluaran tambahan seperti biaya tips porter, tips pengemudi yang diberikan secara lumpsum.

    Cara pelaksanaan belanja perjalanan dinas sebagaimana uraian di atas, untuk uang transport dan biaya penginapan dilaksanakan mengikuti ketentuan pengadaan barang/jasa yang dikecualikan. Sedangkan uang harian dan representasi dilakukan sesuai prinsip swakelola tipe I. Dengan demikian, ada dua cara pengadaan yang digunakan dalam pelaksanaan perjalanan dinas, yaitu pengadaan yang dikecualikan dan swakelola, namun pembayaran dengan penggantian biaya (reimbursement) yang dikeluarkan oleh pelaksana perjalanan dinas dilakukan sekaligus dalam satu paket untuk semua komponen biaya. 

    Jika perjalanan dinas diidentifikasi sebagai pengadaan secara swakelola, maka perlu dilihat cara pelaksanaannya. Dengan berasumsi bahwa perjalanan dinas dikategorikan sebagai swakelola tipe I atas dasar bahwa pelaku perjalanan dinas sebagai pelaksana swakelola. Jika ditinjau cara pelaksanaannya, maka perlu diuraikan tahapan pelaksanaan swakelola mulai dari perencanaan sampai serah terima. Begitu pula penyelenggaranya harus ditetapkan oleh Pengguna Anggaran yang terdiri dari Tim Persiapan, Tim Pelaksana dan Tim Pengawas. Dalam implementasinya, tidak dibentuk tim penyelenggara pada pelaksanaan perjalanan dinas, sehingga tidak dapat diidentifikasi sebagai swakelola.

    Bila tidak dapat diidentifikasi sebagai belanja pengadaan melalui penyedia atau swakelola, maka belanja perjalanan dinas seharusnya ditandai sebagai belanja non pengadaan pada aplikasi SiRUP.

  • 02 September 2024

    KETIKA PPTK WAJIB BERSERTIFIKAT KOMPETENSI PPK

    Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak termasuk pelaku pengadaan yang disebutkan dalam Pasal 8 Peraturan Presiden nomor 12 Tahun 2021. PPTK adalah pejabat pada Unit SKPD yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya. Tugasnya adalah membantu tugas dan wewenang PA/KPA[1]. Tugas PPTK dalam membantu tugas dan wewenang PA/KPA meliputi:

    a. mengendalikan dan melaporkan perkembangan pelaksanaan teknis Kegiatan/sub kegiatan SKPD/Unit SKPD;

    b. menyiapkan dokumen dalam rangka pelaksanaan anggaran atas Beban pengeluaran pelaksanaan Kegiatan/Sub kegiatan; dan

    c.  menyiapkan dokumen pengadaan barang/jasa pada Kegiatan/Sub kegiatan SKPD/Unit SKPD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan barang/jasa[2].

    PPTK tidak disebut dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. PPTK kemudian disebutkan dalam perubahannya, yaitu pada Peraturan Presiden nomor 12 Tahun 2021.  Pada Pasal 11 ayat (3) dan (4) berbunyi sebagai berikut:

    Ayat (3) Dalam hal tidak ada penetapan PPK pada Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBD, PA/KPA menugaskan PPTK untuk melaksanakan tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf m.

    Ayat (4) PPTK yang melaksanakan tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi persyaratan kompetensi PPK

    Dengan penugasan tersebut, PPTK masuk menjadi salah satu tim dalam pengadaan barang/jasa meskipun tidak termasuk pelaku pengadaan. Maka PPTK yang diberi tugas tersebut wajib memenuhi persyaratan kompetensi PPK sebagaimana disebut dalam ayat (4) di atas. Bukti pemenuhan syarat kompetensi adalah sertifikat kompetensi, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan LKPP Nomor 7 Tahun 2021 tentang Sumber Daya Manusia Pengadaan Barang/Jasa pada Pasal 12 ayat (4) bahwa kepemilikan kompetensi di bidang Pengadaan Barang/Jasa bagi PPK, Pejabat Pengadaan, dan Pokja Pemilihan dibuktikan dengan sertifikat kompetensi. Demikian juga diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan LKPP Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan LKPP Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pelaku Pengadaan Barang/Jasa bahwa salah satu syarat PPK adalah memiliki sertifikat kompetensi di bidang Pengadaan Barang/Jasa. Jenis kompetensi PPK adalah:

    1. Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
    2. Pengelolaan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
    3. Pengelolaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara Swakelola[3].

    Dalam keadaan bagaimana tidak ada penetapan PPK? 

    PPK ditetapkan oleh PA, sehingga apabila tugas PPK dilaksanakan oleh PA/KPA, maka tidak ada penetapan PPK. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan berikut:

    1.  Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 pada pasal 10 ayat (5) disebutkan bahwa KPA pada Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBD, dapat merangkap sebagai PPK.
    2. Peraturan LKPP Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan LKPP Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pelaku Pengadaan Barang/Jasa pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal tidak terdapat pegawai yang memenuhi persyaratan sebagai PPK, PA/KPA dapat merangkap sebagai PPK.

    Dari ketentuan tersebut dapat dilihat pula bahwa pelaksanaan tugas sebagai PPK oleh PA/KPA adalah pilihan setelah tidak ada pegawai yang memenuhi persyaratan sebagai PPK. Prioritas utama untuk ditugaskan sebagai PPK adalah berdasarkan pemenuhan syarat kompetensi. Apabila tidak ada penetapan PPK, maka PA/KPA yang bertindak sebagai PPK dan menugaskan PPTK untuk melaksanakan sebagian tugas PPK.

    Sebagian tugas yang dapat dilimpahkan dari PPK ke PPTK sebagaimana pada pasal 11 ayat (1) dan dibatasi pada ayat (3) Peraturan Presiden nomor 12 Tahun 2021, yaitu:

    a.   menyusun perencanaan pengadaan;

    b.   melaksanakan Konsolidasi Pengadaan Barang/Jasa;

    c.   menetapkan spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja (KAK);

    d.   menetapkan rancangan kontrak;

    e.   menetapkan HPS;

    f.    menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia;

    g.   mengusulkan perubahan jadwal kegiatan;

    h.   melaksanakan E-purchasing untuk nilai paling sedikit di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

    i.    mengendalikan kontrak;

    j.    menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan;

    k.   melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan kepada PA/ KPA;

    l.  menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada PA/KPA dengan berita acara penyerahan;

    m.  menilai kinerja Penyedia;

    Apakah pelimpahan sebagian tugas PPK kepada PPTK pada kondisi di atas bersifat wajib? 

    Tidak ada penekanan wajib dalam pasal tersebut, namun tidak semua kewajiban dalam peraturan mesti diimbuhi kata “wajib” lalu bersifat wajib. Jika dicermati pada ketentuan tersebut, tidak disebutkan alternatif lain pada saat kondisi terpenuhi. Kondisi yang dimaksudkan adalah “dalam hal tidak ada penetapan PPK”. Kemudian konsekuensinya adalah “PA/KPA menugaskan PPTK untuk melaksanakan tugas PPK”. Mungkin kurang tepat, namun jika situasi tersebut dianalisis dengan teori implikasi dalam logika matematika, apabila syarat terpenuhi (anteseden benar) maka hanya akan bernilai benar jika implikasi dipenuhi (konsekuen benar). Dengan demikian, maka bila tidak ada penetapan PPK, maka PA/KPA wajib melimpahkan sebagian tugas PPK kepada PPTK.

    Konsekuensi berikutnya adalah PPTK wajib bersertifikat kompetensi PPK apabila akan ditugaskan oleh PA/KPA melaksanakan sebagian tugas PPK.

    Demikian. Tulisan ini hanya opini. Tidak untuk dijadikan referensi. Jika ada pendapat yang lebih tepat, abaikan pendapat dalam tulisan ini.


    [1] Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

    [2] Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah

    [3] Keputusan Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan Sumber Daya Manusia LKPP Nomor 46 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Uji Kompetensi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bagi Personel Lainnya dengan Kriteria Tertentu

    06 Agustus 2024

    Pasal Pertanggungjawaban ‘Lumpsum’ bagi Anggota DPRD Berujung di MA

     Mahkamah Kakak dan Mahkamah Adik

    Mahkamah Konstitusi (MK) lahir melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang disahkan dalam Sidang Paripurna MPR pada tanggal 13 Agustus 2003. Mahkamah Agung (MA) lahir sejak pengangkatan Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Presiden Soekarno. Jadi secara urutan waktu, MA lebih tua dari MK.

    Paronomasia (plesetan) MK sebagai Mahkamah Kakak dan MA sebagai Mahkamah Adik menjadi viral di media sosial berawal ketika Mahkamah Agung mengabulkan uji materiil terhadap aturan batas usia minimal calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah (Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020) melalui Putusan Nomor 23P/HUM/2024 pada tanggal 29 Mei 2024. Sebelumnya, pada tanggal 16 Oktober 2023 Mahkamah Konstitusi sudah mengabulkan uji materiil batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017) melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Secara urutan waktu, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 lebih tua dari Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024, namun plesetan Mahkamah Kakak dan Mahkamah Adik hanyalah guyonan dari netizen sebagai kritik terhadap situasi sosial-politik, tetapi tidak memiliki makna terminologi formal sama sekali. Bagian pada sub judul ini dimaksudkan untuk menunjukkan contoh perbedaan kewenangan MA dan MK.

    Kewenangan MA diatur dalam UUD 1945 Pasal 24A ayat (1) yaitu mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan kewenangan MK diatur dalam UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

    Kontroversi Pasal ‘Lumpsum’

    Pasal 3A Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PeraturanPresiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional mengatur tentang pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas dalam negeri. Bunyi lengkapnya sebagai berikut:

    Pasal 3A

    Ayat (1)   Pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b dilakukan secara at cost (biaya riil).

    Ayat (2)   Pertanggungiawaban perjalanan dinas dalam negeri bagi pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan secara lumpsum dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, kewajaran, dan akuntabel.

    Apakah melihat sesuatu yang aneh dengan kedua ayat tersebut? Pada ayat (1) tidak ada pengkhususan sehingga sepatutnya berlaku umum untuk semua perjalanan dinas yang dimaksudkan dalam Peraturan Presiden tersebut. Kemudian pada ayat (2) terdapat pengkhususan bagi pimpinan dan anggota DPRD. Pengkhususan ini berarti menafikan keumuman maksud ayat (1).

    Pemberlakuan Perpres Nomor 33 Tahun 2020 telah menuai kritik dari DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Salah satu bentuk kritik disampaikan dalam rekomendasi hasil seminar sinergitas nasional yang dimotori Komisi A DPRD Jatim dan DPRD Bali dengan tema "Kedudukan Anggota DPRD Sebagai Pejabat Daerah dalam Sistem Pemerintahan Saat ini" yang diadakan di Nusa Dua Bali tanggal 6 November 2020. Rupa-rupanya protes tersebut mengerucut ke sistem pertanggungjawaban perjalanan dinas secara at cost yang diberlakukan secara umum dalam Perpres tersebut. Maka kemudian lahirlah Perpres Nomor 53 Tahun 2023 sebagai Perubahan Perpres Nomor 33 Tahun 2020 yang salah-satunya mengubah bentuk pertanggungjawaban perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPRD menjadi lumpsum. Tidak ada penjelasan dan alasan substansial yang bisa dilihat atas pengkhususan tersebut selain untuk mendapatkan kompensasi lebih dari biaya riil perjalanan yang dikeluarkan. Tidak ada korelasi yang meyakinkan bahwa pertanggungjawaban secara lumpsum berkontribusi positif bagi efektivitas dan fleksibilitas pelaksanaan tugas anggota DPRD.

    Uji Materiil Pasal ‘Lumpsum Spesial’

    Status Pekara Nomor 12 P/HUM/2024

    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 pada Pasal 51 ayat (3) mengamanatkan bahwa standar harga satuan regional ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ditetapkan Perpres Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional. Perpres ini akan mulai diberlakukan pada perencanaan dan pelaksanaan APBD tahun anggaran 2021. Anggota DPRD kabupaten/kota dan provinsi tidak setuju dengan Perpres tersebut terutama karena pemberlakuan pertanggungjawaban perjalanan dinas disamakan dengan pejabat daerah lainnya. Dalam seminar sinergitas nasional seperti yang telah disinggung di atas, mereka menyoal kedudukan anggota DPRD yang diposisikan sebagai pejabat daerah seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam seminar tersebut muncul pendapat bahwa ada kesalahan serius pada UU Nomor 23 Tahun 2014 yang menempatkan anggota DPRD sebagai pejabat daerah. 

    Walaupun tampaknya anggota DPRD tersebut mempersoalkan kedudukannya sebagai pejabat daerah, namun tidak bisa disangkal bahwa pada akhirnya yang dibidik adalah pertanggungjawaban perjalanan dinas secara at cost seperti pejabat daerah lainnya. Kado istimewa kemudian diberikan kepada anggota DPRD dalam bentuk Perpres 53 Tahun 2023 yang di antaranya mengubah bentuk pertanggungjawaban perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPRD dari semula at cost menjadi lumpsum untuk diterapkan paling lambat pada tahun anggaran 2024. Apakah DPRD masih mempersoalkan posisinya sebagai pejabat daerah pasca perubahan Perpres tersebut? Belum ditemukan sumber yang bisa memberikan informasi.

    Pembedaan bentuk pertanggungjawaban tersebut tentu menjadi pertanyaan bagi pihak lainnya. Salah satu di antaranya adalah Eko Sentosa, seorang ASN dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Eko Sentosa kemudian mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 kepada Mahkamah Agung. Permohonan dibuat tanggal 15 Februari 2024 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 16 Februari 2024, dan diregister dengan Nomor 12 P/HUM/12024. Salah satu bagian dalil pokok yang diajukan, ditulis sebagai berikut:

    Pemohon berpendapat bahwa a quo berpotensi tidak memenuhi asas keadilan dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Potensi adanya ketidakadilan dan ketidaksamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah:

    1.      Membedakan sistem pertanggungjawaban Perjalanan Dinas Pimpinan dan Anggota DPRD terhadap Kepala Daerah, karena a quo mengamanatkan pertanggungjawaban secara Lumpsum sedangkan Kepala Daerah secara at cost. Hal ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 207 yang memandang kemitraan sejajar antara DPRD dan Kepala Daerah;

    2.      Pemohon berpendapat bahwa a quo telah mengamanatkan mekanisme pertanggungjawaban lumpsum bagi Pimpinan dan Anggota DPRD yang berpotensi mencederai Pasal 95 Ayat (1) Undang-Undang 23 Tahun 2014 yang berbunyi :

    Ayat (1) DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah provinsi yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi;

    Ayat(2) Anggota DPRD provinsi adalah pejabat Daerah provinsi;

    Jadi pemohon berpendapat DPRD tidak layak dan tidak seharusnya diberlakukan spesial/khusus dalam pertanggungjawaban keuangan terhadap perjalanan dinas, sementara Pejabat Pemerintah Daerah lainnya seperti Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Sekretaris Daerah serta pejabat daerah lainnya juga merupakan pejabat daerah yang diberlakukan beda dalam pertanggungjawaban keuangan perjalanan dinasnya dibanding DPRD.

    Mahkamah Agung telah memutuskan perkara tersebut dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Selasa, tanggal 11 Juni 2024. Dalam amar putusan nomor 12 P/HUM/2024 ditulis sebagai berikut:

    MENGADILI:

    1.      Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon EKO SENTOSA, tersebut;

    2.      Menyatakan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu:

    1.      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

    2.      Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

    3.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

    3.      Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional;

    4.      Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Sekretaris Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara;

    5.      Menghukum Termohon membayar biaya perkara sejumlah Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah);

    Selesai. Pasal ‘lumpsum spesial’ telah tandas. Tinggal menunggu tindak lanjut dari Presiden untuk mencabut Perpres Nomor 53 Tahun 2023. Apakah dengan demikian akan kembali ke Perpres Nomor 33 tahun 2020 atau menerbitkan Perpres baru? Ah..., tunggulah, ya!