Mahkamah Kakak dan Mahkamah Adik
Mahkamah Konstitusi (MK)
lahir melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang disahkan dalam Sidang
Paripurna MPR pada tanggal 13 Agustus 2003. Mahkamah Agung (MA) lahir sejak
pengangkatan Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Presiden
Soekarno. Jadi secara urutan waktu, MA lebih tua dari MK.
Paronomasia (plesetan)
MK sebagai Mahkamah Kakak dan MA sebagai
Mahkamah Adik
menjadi viral di media sosial berawal ketika Mahkamah Agung mengabulkan
uji materiil terhadap aturan batas usia minimal calon kepala daerah dan calon
wakil kepala daerah (Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020) melalui Putusan Nomor 23P/HUM/2024 pada tanggal 29 Mei 2024. Sebelumnya, pada tanggal 16 Oktober 2023
Mahkamah Konstitusi sudah mengabulkan uji materiil batas usia minimal calon
presiden dan calon wakil presiden (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017) melalui
Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Secara urutan waktu, Putusan MK Nomor
90/PUU-XXI/2023 lebih tua dari Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024, namun plesetan
Mahkamah Kakak dan Mahkamah Adik hanyalah guyonan dari netizen sebagai kritik terhadap situasi sosial-politik, tetapi tidak memiliki makna terminologi formal sama sekali. Bagian pada sub judul ini dimaksudkan untuk menunjukkan contoh perbedaan kewenangan MA dan MK.
Kewenangan MA diatur
dalam UUD 1945 Pasal 24A ayat (1) yaitu mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan
kewenangan MK diatur dalam UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) yaitu mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kontroversi Pasal
‘Lumpsum’
Pasal
3A Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PeraturanPresiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional mengatur
tentang pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas dalam negeri. Bunyi
lengkapnya sebagai berikut:
Pasal 3A
Ayat
(1) Pertanggungjawaban biaya perjalanan
dinas dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b
dilakukan secara at cost (biaya riil).
Ayat (2) Pertanggungiawaban
perjalanan dinas dalam negeri bagi pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dilakukan secara lumpsum dengan memperhatikan prinsip efisiensi,
efektivitas, kepatutan, kewajaran, dan akuntabel.
Apakah melihat
sesuatu yang aneh dengan kedua ayat tersebut? Pada ayat (1) tidak ada
pengkhususan sehingga sepatutnya berlaku umum untuk semua perjalanan dinas yang
dimaksudkan dalam Peraturan Presiden tersebut. Kemudian pada ayat (2) terdapat
pengkhususan bagi pimpinan dan anggota DPRD. Pengkhususan ini berarti menafikan
keumuman maksud ayat (1).
Pemberlakuan Perpres
Nomor 33 Tahun 2020 telah menuai kritik dari DPRD kabupaten/kota dan provinsi.
Salah satu bentuk kritik disampaikan dalam rekomendasi hasil seminar sinergitas nasional yang dimotori Komisi A DPRD
Jatim dan DPRD Bali dengan tema "Kedudukan Anggota DPRD Sebagai Pejabat
Daerah dalam Sistem Pemerintahan Saat ini" yang diadakan di Nusa Dua
Bali tanggal 6 November 2020. Rupa-rupanya protes tersebut mengerucut ke sistem
pertanggungjawaban perjalanan dinas secara at cost yang diberlakukan
secara umum dalam Perpres tersebut. Maka kemudian lahirlah Perpres Nomor 53
Tahun 2023 sebagai Perubahan Perpres Nomor 33 Tahun 2020 yang salah-satunya mengubah
bentuk pertanggungjawaban perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPRD menjadi lumpsum.
Tidak ada penjelasan dan alasan substansial yang bisa dilihat atas pengkhususan
tersebut selain untuk mendapatkan kompensasi lebih dari biaya riil perjalanan
yang dikeluarkan. Tidak ada korelasi yang meyakinkan bahwa pertanggungjawaban
secara lumpsum berkontribusi positif bagi efektivitas dan fleksibilitas
pelaksanaan tugas anggota DPRD.
Uji Materiil Pasal ‘Lumpsum Spesial’
![]() |
Status Pekara Nomor 12 P/HUM/2024 |
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 pada Pasal 51 ayat
(3) mengamanatkan bahwa standar harga satuan regional ditetapkan dengan
Peraturan Presiden. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ditetapkan Perpres Nomor 33 Tahun 2020
tentang Standar Harga Satuan Regional. Perpres ini akan
mulai diberlakukan pada perencanaan dan pelaksanaan APBD tahun anggaran 2021.
Anggota DPRD kabupaten/kota dan provinsi tidak setuju dengan Perpres tersebut
terutama karena pemberlakuan pertanggungjawaban perjalanan dinas disamakan
dengan pejabat daerah lainnya. Dalam seminar sinergitas nasional seperti yang
telah disinggung di atas, mereka menyoal kedudukan anggota DPRD yang
diposisikan sebagai pejabat daerah seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam seminar tersebut muncul
pendapat bahwa ada kesalahan serius pada UU Nomor 23 Tahun 2014 yang
menempatkan anggota DPRD sebagai pejabat daerah.
Walaupun tampaknya anggota DPRD tersebut mempersoalkan
kedudukannya sebagai pejabat daerah, namun tidak bisa disangkal bahwa pada
akhirnya yang dibidik adalah pertanggungjawaban perjalanan dinas secara at
cost seperti pejabat daerah lainnya. Kado istimewa kemudian diberikan
kepada anggota DPRD dalam bentuk Perpres 53 Tahun 2023 yang di antaranya mengubah bentuk
pertanggungjawaban perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPRD dari semula at
cost menjadi lumpsum untuk diterapkan paling lambat pada tahun
anggaran 2024. Apakah DPRD masih mempersoalkan posisinya sebagai pejabat daerah
pasca perubahan Perpres tersebut? Belum ditemukan sumber yang bisa memberikan
informasi.
Pembedaan
bentuk pertanggungjawaban tersebut tentu menjadi pertanyaan bagi pihak lainnya.
Salah satu di antaranya adalah Eko Sentosa, seorang ASN dari Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Eko Sentosa kemudian mengajukan permohonan keberatan hak uji
materiil terhadap Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 kepada Mahkamah Agung. Permohonan dibuat tanggal 15
Februari 2024 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 16
Februari 2024, dan diregister dengan Nomor 12 P/HUM/12024. Salah satu bagian dalil pokok
yang diajukan, ditulis sebagai berikut:
Pemohon berpendapat bahwa a quo
berpotensi tidak memenuhi asas keadilan dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Potensi adanya ketidakadilan dan
ketidaksamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah:
1. Membedakan sistem
pertanggungjawaban Perjalanan Dinas Pimpinan dan Anggota DPRD terhadap Kepala
Daerah, karena a quo mengamanatkan pertanggungjawaban secara Lumpsum sedangkan
Kepala Daerah secara at cost. Hal ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 207 yang memandang
kemitraan sejajar antara DPRD dan Kepala Daerah;
2. Pemohon berpendapat bahwa a quo
telah mengamanatkan mekanisme pertanggungjawaban lumpsum bagi Pimpinan dan
Anggota DPRD yang berpotensi mencederai Pasal 95 Ayat (1) Undang-Undang 23
Tahun 2014 yang berbunyi :
Ayat (1) DPRD provinsi merupakan lembaga
perwakilan rakyat Daerah provinsi yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah provinsi;
Ayat(2) Anggota DPRD provinsi adalah pejabat Daerah
provinsi;
Jadi pemohon berpendapat DPRD
tidak layak dan tidak seharusnya diberlakukan spesial/khusus dalam
pertanggungjawaban keuangan terhadap perjalanan dinas, sementara Pejabat
Pemerintah Daerah lainnya seperti Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Sekretaris
Daerah serta pejabat daerah lainnya juga merupakan pejabat daerah yang
diberlakukan beda dalam pertanggungjawaban keuangan perjalanan dinasnya
dibanding DPRD.
Mahkamah
Agung telah memutuskan perkara tersebut dalam rapat permusyawaratan Majelis
Hakim pada hari Selasa, tanggal 11 Juni 2024. Dalam amar putusan nomor 12 P/HUM/2024
ditulis sebagai berikut:
MENGADILI:
1. Mengabulkan permohonan keberatan
hak uji materiil dari Pemohon EKO SENTOSA, tersebut;
2. Menyatakan Peraturan Presiden
Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 33 tahun
2020 tentang Standar Harga Satuan Regional, bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan
yang lebih tinggi, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Memerintahkan kepada Termohon
untuk mencabut Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional;
4. Memerintahkan kepada Panitera
Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Sekretaris Negara
untuk dicantumkan dalam Berita Negara;
5. Menghukum Termohon membayar
biaya perkara sejumlah Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah);
Selesai.
Pasal ‘lumpsum spesial’ telah tandas. Tinggal menunggu tindak lanjut
dari Presiden untuk mencabut Perpres Nomor 53 Tahun 2023. Apakah dengan
demikian akan kembali ke Perpres Nomor 33 tahun 2020 atau menerbitkan Perpres baru?
Ah..., tunggulah, ya!