06 Agustus 2024

Pasal Pertanggungjawaban ‘Lumpsum’ bagi Anggota DPRD Berujung di MA

 Mahkamah Kakak dan Mahkamah Adik

Mahkamah Konstitusi (MK) lahir melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang disahkan dalam Sidang Paripurna MPR pada tanggal 13 Agustus 2003. Mahkamah Agung (MA) lahir sejak pengangkatan Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Presiden Soekarno. Jadi secara urutan waktu, MA lebih tua dari MK.

Paronomasia (plesetan) MK sebagai Mahkamah Kakak dan MA sebagai Mahkamah Adik menjadi viral di media sosial berawal ketika Mahkamah Agung mengabulkan uji materiil terhadap aturan batas usia minimal calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah (Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020) melalui Putusan Nomor 23P/HUM/2024 pada tanggal 29 Mei 2024. Sebelumnya, pada tanggal 16 Oktober 2023 Mahkamah Konstitusi sudah mengabulkan uji materiil batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017) melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Secara urutan waktu, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 lebih tua dari Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024, namun plesetan Mahkamah Kakak dan Mahkamah Adik hanyalah guyonan dari netizen sebagai kritik terhadap situasi sosial-politik, tetapi tidak memiliki makna terminologi formal sama sekali. Bagian pada sub judul ini dimaksudkan untuk menunjukkan contoh perbedaan kewenangan MA dan MK.

Kewenangan MA diatur dalam UUD 1945 Pasal 24A ayat (1) yaitu mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan kewenangan MK diatur dalam UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kontroversi Pasal ‘Lumpsum’

Pasal 3A Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PeraturanPresiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional mengatur tentang pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas dalam negeri. Bunyi lengkapnya sebagai berikut:

Pasal 3A

Ayat (1)   Pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b dilakukan secara at cost (biaya riil).

Ayat (2)   Pertanggungiawaban perjalanan dinas dalam negeri bagi pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan secara lumpsum dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, kewajaran, dan akuntabel.

Apakah melihat sesuatu yang aneh dengan kedua ayat tersebut? Pada ayat (1) tidak ada pengkhususan sehingga sepatutnya berlaku umum untuk semua perjalanan dinas yang dimaksudkan dalam Peraturan Presiden tersebut. Kemudian pada ayat (2) terdapat pengkhususan bagi pimpinan dan anggota DPRD. Pengkhususan ini berarti menafikan keumuman maksud ayat (1).

Pemberlakuan Perpres Nomor 33 Tahun 2020 telah menuai kritik dari DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Salah satu bentuk kritik disampaikan dalam rekomendasi hasil seminar sinergitas nasional yang dimotori Komisi A DPRD Jatim dan DPRD Bali dengan tema "Kedudukan Anggota DPRD Sebagai Pejabat Daerah dalam Sistem Pemerintahan Saat ini" yang diadakan di Nusa Dua Bali tanggal 6 November 2020. Rupa-rupanya protes tersebut mengerucut ke sistem pertanggungjawaban perjalanan dinas secara at cost yang diberlakukan secara umum dalam Perpres tersebut. Maka kemudian lahirlah Perpres Nomor 53 Tahun 2023 sebagai Perubahan Perpres Nomor 33 Tahun 2020 yang salah-satunya mengubah bentuk pertanggungjawaban perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPRD menjadi lumpsum. Tidak ada penjelasan dan alasan substansial yang bisa dilihat atas pengkhususan tersebut selain untuk mendapatkan kompensasi lebih dari biaya riil perjalanan yang dikeluarkan. Tidak ada korelasi yang meyakinkan bahwa pertanggungjawaban secara lumpsum berkontribusi positif bagi efektivitas dan fleksibilitas pelaksanaan tugas anggota DPRD.

Uji Materiil Pasal ‘Lumpsum Spesial’

Status Pekara Nomor 12 P/HUM/2024

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 pada Pasal 51 ayat (3) mengamanatkan bahwa standar harga satuan regional ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ditetapkan Perpres Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional. Perpres ini akan mulai diberlakukan pada perencanaan dan pelaksanaan APBD tahun anggaran 2021. Anggota DPRD kabupaten/kota dan provinsi tidak setuju dengan Perpres tersebut terutama karena pemberlakuan pertanggungjawaban perjalanan dinas disamakan dengan pejabat daerah lainnya. Dalam seminar sinergitas nasional seperti yang telah disinggung di atas, mereka menyoal kedudukan anggota DPRD yang diposisikan sebagai pejabat daerah seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam seminar tersebut muncul pendapat bahwa ada kesalahan serius pada UU Nomor 23 Tahun 2014 yang menempatkan anggota DPRD sebagai pejabat daerah. 

Walaupun tampaknya anggota DPRD tersebut mempersoalkan kedudukannya sebagai pejabat daerah, namun tidak bisa disangkal bahwa pada akhirnya yang dibidik adalah pertanggungjawaban perjalanan dinas secara at cost seperti pejabat daerah lainnya. Kado istimewa kemudian diberikan kepada anggota DPRD dalam bentuk Perpres 53 Tahun 2023 yang di antaranya mengubah bentuk pertanggungjawaban perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPRD dari semula at cost menjadi lumpsum untuk diterapkan paling lambat pada tahun anggaran 2024. Apakah DPRD masih mempersoalkan posisinya sebagai pejabat daerah pasca perubahan Perpres tersebut? Belum ditemukan sumber yang bisa memberikan informasi.

Pembedaan bentuk pertanggungjawaban tersebut tentu menjadi pertanyaan bagi pihak lainnya. Salah satu di antaranya adalah Eko Sentosa, seorang ASN dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Eko Sentosa kemudian mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 kepada Mahkamah Agung. Permohonan dibuat tanggal 15 Februari 2024 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 16 Februari 2024, dan diregister dengan Nomor 12 P/HUM/12024. Salah satu bagian dalil pokok yang diajukan, ditulis sebagai berikut:

Pemohon berpendapat bahwa a quo berpotensi tidak memenuhi asas keadilan dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Potensi adanya ketidakadilan dan ketidaksamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah:

1.      Membedakan sistem pertanggungjawaban Perjalanan Dinas Pimpinan dan Anggota DPRD terhadap Kepala Daerah, karena a quo mengamanatkan pertanggungjawaban secara Lumpsum sedangkan Kepala Daerah secara at cost. Hal ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 207 yang memandang kemitraan sejajar antara DPRD dan Kepala Daerah;

2.      Pemohon berpendapat bahwa a quo telah mengamanatkan mekanisme pertanggungjawaban lumpsum bagi Pimpinan dan Anggota DPRD yang berpotensi mencederai Pasal 95 Ayat (1) Undang-Undang 23 Tahun 2014 yang berbunyi :

Ayat (1) DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah provinsi yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi;

Ayat(2) Anggota DPRD provinsi adalah pejabat Daerah provinsi;

Jadi pemohon berpendapat DPRD tidak layak dan tidak seharusnya diberlakukan spesial/khusus dalam pertanggungjawaban keuangan terhadap perjalanan dinas, sementara Pejabat Pemerintah Daerah lainnya seperti Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Sekretaris Daerah serta pejabat daerah lainnya juga merupakan pejabat daerah yang diberlakukan beda dalam pertanggungjawaban keuangan perjalanan dinasnya dibanding DPRD.

Mahkamah Agung telah memutuskan perkara tersebut dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Selasa, tanggal 11 Juni 2024. Dalam amar putusan nomor 12 P/HUM/2024 ditulis sebagai berikut:

MENGADILI:

1.      Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon EKO SENTOSA, tersebut;

2.      Menyatakan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu:

1.      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

2.      Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

3.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

3.      Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional;

4.      Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Sekretaris Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara;

5.      Menghukum Termohon membayar biaya perkara sejumlah Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah);

Selesai. Pasal ‘lumpsum spesial’ telah tandas. Tinggal menunggu tindak lanjut dari Presiden untuk mencabut Perpres Nomor 53 Tahun 2023. Apakah dengan demikian akan kembali ke Perpres Nomor 33 tahun 2020 atau menerbitkan Perpres baru? Ah..., tunggulah, ya!