02 September 2024

KETIKA PPTK WAJIB BERSERTIFIKAT KOMPETENSI PPK

Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak termasuk pelaku pengadaan yang disebutkan dalam Pasal 8 Peraturan Presiden nomor 12 Tahun 2021. PPTK adalah pejabat pada Unit SKPD yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya. Tugasnya adalah membantu tugas dan wewenang PA/KPA[1]. Tugas PPTK dalam membantu tugas dan wewenang PA/KPA meliputi:

a. mengendalikan dan melaporkan perkembangan pelaksanaan teknis Kegiatan/sub kegiatan SKPD/Unit SKPD;

b. menyiapkan dokumen dalam rangka pelaksanaan anggaran atas Beban pengeluaran pelaksanaan Kegiatan/Sub kegiatan; dan

c.  menyiapkan dokumen pengadaan barang/jasa pada Kegiatan/Sub kegiatan SKPD/Unit SKPD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan barang/jasa[2].

PPTK tidak disebut dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. PPTK kemudian disebutkan dalam perubahannya, yaitu pada Peraturan Presiden nomor 12 Tahun 2021.  Pada Pasal 11 ayat (3) dan (4) berbunyi sebagai berikut:

Ayat (3) Dalam hal tidak ada penetapan PPK pada Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBD, PA/KPA menugaskan PPTK untuk melaksanakan tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf m.

Ayat (4) PPTK yang melaksanakan tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi persyaratan kompetensi PPK

Dengan penugasan tersebut, PPTK masuk menjadi salah satu tim dalam pengadaan barang/jasa meskipun tidak termasuk pelaku pengadaan. Maka PPTK yang diberi tugas tersebut wajib memenuhi persyaratan kompetensi PPK sebagaimana disebut dalam ayat (4) di atas. Bukti pemenuhan syarat kompetensi adalah sertifikat kompetensi, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan LKPP Nomor 7 Tahun 2021 tentang Sumber Daya Manusia Pengadaan Barang/Jasa pada Pasal 12 ayat (4) bahwa kepemilikan kompetensi di bidang Pengadaan Barang/Jasa bagi PPK, Pejabat Pengadaan, dan Pokja Pemilihan dibuktikan dengan sertifikat kompetensi. Demikian juga diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan LKPP Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan LKPP Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pelaku Pengadaan Barang/Jasa bahwa salah satu syarat PPK adalah memiliki sertifikat kompetensi di bidang Pengadaan Barang/Jasa. Jenis kompetensi PPK adalah:

1. Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
2. Pengelolaan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
3. Pengelolaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara Swakelola[3].

Dalam keadaan bagaimana tidak ada penetapan PPK? 

PPK ditetapkan oleh PA, sehingga apabila tugas PPK dilaksanakan oleh PA/KPA, maka tidak ada penetapan PPK. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan berikut:

1.  Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 pada pasal 10 ayat (5) disebutkan bahwa KPA pada Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBD, dapat merangkap sebagai PPK.
2. Peraturan LKPP Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan LKPP Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pelaku Pengadaan Barang/Jasa pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal tidak terdapat pegawai yang memenuhi persyaratan sebagai PPK, PA/KPA dapat merangkap sebagai PPK.

Dari ketentuan tersebut dapat dilihat pula bahwa pelaksanaan tugas sebagai PPK oleh PA/KPA adalah pilihan setelah tidak ada pegawai yang memenuhi persyaratan sebagai PPK. Prioritas utama untuk ditugaskan sebagai PPK adalah berdasarkan pemenuhan syarat kompetensi. Apabila tidak ada penetapan PPK, maka PA/KPA yang bertindak sebagai PPK dan menugaskan PPTK untuk melaksanakan sebagian tugas PPK.

Sebagian tugas yang dapat dilimpahkan dari PPK ke PPTK sebagaimana pada pasal 11 ayat (1) dan dibatasi pada ayat (3) Peraturan Presiden nomor 12 Tahun 2021, yaitu:

a.   menyusun perencanaan pengadaan;

b.   melaksanakan Konsolidasi Pengadaan Barang/Jasa;

c.   menetapkan spesifikasi teknis/Kerangka Acuan Kerja (KAK);

d.   menetapkan rancangan kontrak;

e.   menetapkan HPS;

f.    menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia;

g.   mengusulkan perubahan jadwal kegiatan;

h.   melaksanakan E-purchasing untuk nilai paling sedikit di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

i.    mengendalikan kontrak;

j.    menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan;

k.   melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan kepada PA/ KPA;

l.  menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada PA/KPA dengan berita acara penyerahan;

m.  menilai kinerja Penyedia;

Apakah pelimpahan sebagian tugas PPK kepada PPTK pada kondisi di atas bersifat wajib? 

Tidak ada penekanan wajib dalam pasal tersebut, namun tidak semua kewajiban dalam peraturan mesti diimbuhi kata “wajib” lalu bersifat wajib. Jika dicermati pada ketentuan tersebut, tidak disebutkan alternatif lain pada saat kondisi terpenuhi. Kondisi yang dimaksudkan adalah “dalam hal tidak ada penetapan PPK”. Kemudian konsekuensinya adalah “PA/KPA menugaskan PPTK untuk melaksanakan tugas PPK”. Mungkin kurang tepat, namun jika situasi tersebut dianalisis dengan teori implikasi dalam logika matematika, apabila syarat terpenuhi (anteseden benar) maka hanya akan bernilai benar jika implikasi dipenuhi (konsekuen benar). Dengan demikian, maka bila tidak ada penetapan PPK, maka PA/KPA wajib melimpahkan sebagian tugas PPK kepada PPTK.

Konsekuensi berikutnya adalah PPTK wajib bersertifikat kompetensi PPK apabila akan ditugaskan oleh PA/KPA melaksanakan sebagian tugas PPK.

Demikian. Tulisan ini hanya opini. Tidak untuk dijadikan referensi. Jika ada pendapat yang lebih tepat, abaikan pendapat dalam tulisan ini.


[1] Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

[2] Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah

[3] Keputusan Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan Sumber Daya Manusia LKPP Nomor 46 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Uji Kompetensi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bagi Personel Lainnya dengan Kriteria Tertentu

06 Agustus 2024

Pasal Pertanggungjawaban ‘Lumpsum’ bagi Anggota DPRD Berujung di MA

 Mahkamah Kakak dan Mahkamah Adik

Mahkamah Konstitusi (MK) lahir melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang disahkan dalam Sidang Paripurna MPR pada tanggal 13 Agustus 2003. Mahkamah Agung (MA) lahir sejak pengangkatan Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Presiden Soekarno. Jadi secara urutan waktu, MA lebih tua dari MK.

Paronomasia (plesetan) MK sebagai Mahkamah Kakak dan MA sebagai Mahkamah Adik menjadi viral di media sosial berawal ketika Mahkamah Agung mengabulkan uji materiil terhadap aturan batas usia minimal calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah (Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020) melalui Putusan Nomor 23P/HUM/2024 pada tanggal 29 Mei 2024. Sebelumnya, pada tanggal 16 Oktober 2023 Mahkamah Konstitusi sudah mengabulkan uji materiil batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017) melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Secara urutan waktu, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 lebih tua dari Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024, namun plesetan Mahkamah Kakak dan Mahkamah Adik hanyalah guyonan dari netizen sebagai kritik terhadap situasi sosial-politik, tetapi tidak memiliki makna terminologi formal sama sekali. Bagian pada sub judul ini dimaksudkan untuk menunjukkan contoh perbedaan kewenangan MA dan MK.

Kewenangan MA diatur dalam UUD 1945 Pasal 24A ayat (1) yaitu mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan kewenangan MK diatur dalam UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kontroversi Pasal ‘Lumpsum’

Pasal 3A Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PeraturanPresiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional mengatur tentang pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas dalam negeri. Bunyi lengkapnya sebagai berikut:

Pasal 3A

Ayat (1)   Pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b dilakukan secara at cost (biaya riil).

Ayat (2)   Pertanggungiawaban perjalanan dinas dalam negeri bagi pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan secara lumpsum dengan memperhatikan prinsip efisiensi, efektivitas, kepatutan, kewajaran, dan akuntabel.

Apakah melihat sesuatu yang aneh dengan kedua ayat tersebut? Pada ayat (1) tidak ada pengkhususan sehingga sepatutnya berlaku umum untuk semua perjalanan dinas yang dimaksudkan dalam Peraturan Presiden tersebut. Kemudian pada ayat (2) terdapat pengkhususan bagi pimpinan dan anggota DPRD. Pengkhususan ini berarti menafikan keumuman maksud ayat (1).

Pemberlakuan Perpres Nomor 33 Tahun 2020 telah menuai kritik dari DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Salah satu bentuk kritik disampaikan dalam rekomendasi hasil seminar sinergitas nasional yang dimotori Komisi A DPRD Jatim dan DPRD Bali dengan tema "Kedudukan Anggota DPRD Sebagai Pejabat Daerah dalam Sistem Pemerintahan Saat ini" yang diadakan di Nusa Dua Bali tanggal 6 November 2020. Rupa-rupanya protes tersebut mengerucut ke sistem pertanggungjawaban perjalanan dinas secara at cost yang diberlakukan secara umum dalam Perpres tersebut. Maka kemudian lahirlah Perpres Nomor 53 Tahun 2023 sebagai Perubahan Perpres Nomor 33 Tahun 2020 yang salah-satunya mengubah bentuk pertanggungjawaban perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPRD menjadi lumpsum. Tidak ada penjelasan dan alasan substansial yang bisa dilihat atas pengkhususan tersebut selain untuk mendapatkan kompensasi lebih dari biaya riil perjalanan yang dikeluarkan. Tidak ada korelasi yang meyakinkan bahwa pertanggungjawaban secara lumpsum berkontribusi positif bagi efektivitas dan fleksibilitas pelaksanaan tugas anggota DPRD.

Uji Materiil Pasal ‘Lumpsum Spesial’

Status Pekara Nomor 12 P/HUM/2024

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 pada Pasal 51 ayat (3) mengamanatkan bahwa standar harga satuan regional ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ditetapkan Perpres Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional. Perpres ini akan mulai diberlakukan pada perencanaan dan pelaksanaan APBD tahun anggaran 2021. Anggota DPRD kabupaten/kota dan provinsi tidak setuju dengan Perpres tersebut terutama karena pemberlakuan pertanggungjawaban perjalanan dinas disamakan dengan pejabat daerah lainnya. Dalam seminar sinergitas nasional seperti yang telah disinggung di atas, mereka menyoal kedudukan anggota DPRD yang diposisikan sebagai pejabat daerah seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam seminar tersebut muncul pendapat bahwa ada kesalahan serius pada UU Nomor 23 Tahun 2014 yang menempatkan anggota DPRD sebagai pejabat daerah. 

Walaupun tampaknya anggota DPRD tersebut mempersoalkan kedudukannya sebagai pejabat daerah, namun tidak bisa disangkal bahwa pada akhirnya yang dibidik adalah pertanggungjawaban perjalanan dinas secara at cost seperti pejabat daerah lainnya. Kado istimewa kemudian diberikan kepada anggota DPRD dalam bentuk Perpres 53 Tahun 2023 yang di antaranya mengubah bentuk pertanggungjawaban perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPRD dari semula at cost menjadi lumpsum untuk diterapkan paling lambat pada tahun anggaran 2024. Apakah DPRD masih mempersoalkan posisinya sebagai pejabat daerah pasca perubahan Perpres tersebut? Belum ditemukan sumber yang bisa memberikan informasi.

Pembedaan bentuk pertanggungjawaban tersebut tentu menjadi pertanyaan bagi pihak lainnya. Salah satu di antaranya adalah Eko Sentosa, seorang ASN dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Eko Sentosa kemudian mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 kepada Mahkamah Agung. Permohonan dibuat tanggal 15 Februari 2024 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 16 Februari 2024, dan diregister dengan Nomor 12 P/HUM/12024. Salah satu bagian dalil pokok yang diajukan, ditulis sebagai berikut:

Pemohon berpendapat bahwa a quo berpotensi tidak memenuhi asas keadilan dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Potensi adanya ketidakadilan dan ketidaksamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah:

1.      Membedakan sistem pertanggungjawaban Perjalanan Dinas Pimpinan dan Anggota DPRD terhadap Kepala Daerah, karena a quo mengamanatkan pertanggungjawaban secara Lumpsum sedangkan Kepala Daerah secara at cost. Hal ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 207 yang memandang kemitraan sejajar antara DPRD dan Kepala Daerah;

2.      Pemohon berpendapat bahwa a quo telah mengamanatkan mekanisme pertanggungjawaban lumpsum bagi Pimpinan dan Anggota DPRD yang berpotensi mencederai Pasal 95 Ayat (1) Undang-Undang 23 Tahun 2014 yang berbunyi :

Ayat (1) DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah provinsi yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi;

Ayat(2) Anggota DPRD provinsi adalah pejabat Daerah provinsi;

Jadi pemohon berpendapat DPRD tidak layak dan tidak seharusnya diberlakukan spesial/khusus dalam pertanggungjawaban keuangan terhadap perjalanan dinas, sementara Pejabat Pemerintah Daerah lainnya seperti Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Sekretaris Daerah serta pejabat daerah lainnya juga merupakan pejabat daerah yang diberlakukan beda dalam pertanggungjawaban keuangan perjalanan dinasnya dibanding DPRD.

Mahkamah Agung telah memutuskan perkara tersebut dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari Selasa, tanggal 11 Juni 2024. Dalam amar putusan nomor 12 P/HUM/2024 ditulis sebagai berikut:

MENGADILI:

1.      Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon EKO SENTOSA, tersebut;

2.      Menyatakan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu:

1.      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

2.      Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

3.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

3.      Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional;

4.      Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Sekretaris Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara;

5.      Menghukum Termohon membayar biaya perkara sejumlah Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah);

Selesai. Pasal ‘lumpsum spesial’ telah tandas. Tinggal menunggu tindak lanjut dari Presiden untuk mencabut Perpres Nomor 53 Tahun 2023. Apakah dengan demikian akan kembali ke Perpres Nomor 33 tahun 2020 atau menerbitkan Perpres baru? Ah..., tunggulah, ya!

01 Maret 2024

PENUGASAN PPPK SEBAGAI PEJABAT PENGADAAN/POKJA PEMILIHAN

Sekilas tentang PPPK

PNS atau PPPK?

Dinyatakan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara bahwa Pegawai ASN terdiri atas PNS dan PPPK. Pada Pasal 1 dijelaskan bahwa Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan dan/atau menduduki jabatan pemerintahan. Jabatan ASN terdiri atas Jabatan Manajerial dan Nonmanajerial. Jabatan Manajerial dan Nonmanajerial tertentu dapat diisi dari PPPK (Pasal 34 ayat (2)). Jabatan Nonmanajerial teridiri atas jabatan fungsional dan jabatan pelaksana (Pasal 18 ayat (1)).

Salah satu jabatan fungsional yang dapat diisi oleh PPPK adalah Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2020 tentang Jenis Jabatan yang Dapat Diisi oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Kemudian ditegaskan lagi dalam Keputusan Menteri PANRB Nomor 1197 Tahun 2021 tentang Jabatan Fungsional yang dapat Diisi oleh PPPK sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri PANRB Nomor 76 Tahun 2022 dan terakhir diubah dengan Keputusan Menteri PANRB Nomor 158 Tahun 2023. Pada lampiran daftar jabatan fungsional yang dapat diisi oleh PPPK dalam Keputusan Menteri PANRB Nomor 76 Tahun 2022, Pengelola Pengadaan Barang/Jasa berada pada nomor urut 119.

Pada bagian konsiderans Peraturan LKPP Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan LKPP Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan dan Pengelolaan Rencana Aksi Pemenuhan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa, pertimbangan yang dijadikan dasar penetapan peraturan tersebut adalah untuk melaksanakan penyesuaian terhadap adanya pengaturan mengenai Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa yang dapat diisi oleh PPPK sebagaimana ketentuan dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2020 tentang Jenis Jabatan yang dapat diisi oleh PPPK, serta untuk memperjelas tahapan penyusunan dan pengelolaan rencana aksi pemenuhan pengelola pengadaan barang/jasa. Dasar pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa salah satu alasan utama perubahan Peraturan LKPP Nomor 6 Tahun 2021 tersebut adalah adanya posisi PPPK yang dapat mengisi jabatan fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa.

Pada Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dijelaskan bahwa Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Pengelola Pengadaan Barang/Jasa adalah ASN yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa.

Hanya PNS yang Bertugas sebagai Pokja Pemilihan atau Pejabat Pengadaan

Ada yang perlu dicermati pada Peraturan Menteri PANRB Nomor 29 Tahun 2020[1] yang menjelaskan bahwa Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Pengelola PBJ adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Pejabat yang Berwenang untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa. Pada bagian ini jelas tertulis bahwa Pengelola PBJ adalah PNS. Hal yang sama kemudian diturunkan pada Peraturan BKN Nomor 21 Tahun 2020[2]. Dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 sendiri tidak diberikan penegasan tentang status kepegawaian jabatan Pengelola PBJ. Namun kemudian dipertegas pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 bahwa Pengelola PBJ  adalah ASN sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan adanya peraturan dengan hierarki lebih tinggi dan lebih baru tersebut maka cukup jelas bahwa Pengelola PBJ  adalah ASN yang dapat berasal dari unsur PNS atau PPPK. Bahkan kemudian Peraturan Menteri PANRB Nomor 29 Tahun 2020 dicabut dengan Peraturan Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional.

Hal penting yang perlu diperjelas yaitu Pasal 74B ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021. Pada bagian tersebut dijelaskan bahwa dalam hal jumlah Pengelola Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah belum mencukupi sesuai rencana aksi pemenuhan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa, maka:

a.  pelaksanaan tugas Pokja Pemilihan dilakukan dengan ketentuan:

1. Pokja Pemilihan untuk setiap paket pengadaan, wajib beranggotakan sekurang-kurangnya 1 (satu) Pengelola Pengadaan Barang/Jasa; dan

2. Anggota Pokja Pemilihan selain Pengelola Pengadaan Barang/Jasa dilaksanakan oleh Pegawai Negeri Sipil yang memiliki sertifikat kompetensi, dan/atau sertifikat keahlian tingkat dasar/level-1 di bidang Pengadaan Barang/Jasa.

b. pelaksanaan tugas Pejabat Pengadaan yang tidak dapat dilakukan oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa, dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang memiliki sertifikat' kompetensi dan/atau sertifikat keahlian tingkat dasar/level-1 di bidang Pengadaan Barang/Jasa.

Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa dalam hal Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah belum memiliki Pengelola pengadaan Barang/Jasa, sampai tersedianya Pengelola Pengadaan berdasarkan rencana aksi pemenuhan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan tugas pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan dilaksanakan oleh:

a. Pegawai Negeri Sipil yang memiliki sertifikat kompetensi dan/atau sertifikat keahlian tingkat dasar/level- 1 di bidang Pengadaan Barang/Jasa; dan/atau

b.    Agen Pengadaan.

Dalam ulasan ini tidak akan dibahas mengapa hanya Pegawai Negeri Sipil yang boleh melaksanakan tugas Pokja Pemilihan dan Pejabat Pengadaan pada kondisi di atas, melainkan kondisi yang mewajibkannya. Hal ini perlu diperjelas agar tidak terjebak pada pemahaman bahwa hanya PNS yang boleh bertugas sebagai Pokja Pemilihan dan Pejabat Pengadaan dalam segala kondisi. Pada pasal tersebut sebenarnya sudah cukup jelas kondisi yang dimaksud.

Pada ayat (2) tertulis dengan jelas bahwa kondisi yang dimaksud adalah dalam hal pemenuhan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa belum mencukupi sesuai rencana aksi, sedangkan pada ayat (3) adalah dalam kondisi belum memiliki Pengelola pengadaan Barang/Jasa. Cukup mudah juga dipahami bahwa PNS yang dimaksud pada ketentuan tersebut adalah selain Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Pemahaman tersebut misalnya dapat ditarik dari ketentuan ayat (2) huruf a angka 2 yang menegaskan bahwa anggota Pokja Pemilihan selain Pengelola Pengadaan Barang/Jasa dilaksanakan oleh Pegawai Negeri Sipil yang memiliki sertifikat kompetensi. Dengan penalaran yang sama pada kondisi sebaliknya ketika pemenuhan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa sudah mencukupi, maka bahkan Pegawai Negeri Sipil sekalipun tidak boleh lagi bertugas sebagai Pokja Pemilihan atau Pejabat Pengadaan meskipun bersertifikat kompetensi PBJ jika bukan fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa.

Dengan premis-premis tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keharusan tugas Pokja Pemilihan dan Pejabat Pengadaan dilaksanakan oleh PNS tidak berlaku dalam segala situasi. PPPK dengan jabatan sebagai Pengelola Pengadaan Barang/Jasa dapat bertugas sebagai Pokja Pemilihan atau Pejabat Pengadaan. Yang tidak dibenarkan adalah PPPK selain Pengelola Pengadaan Barang/Jasa bertugas sebagai Pokja Pemilihan atau Pejabat Pengadaan meskipun memiliki sertifikat kompetensi. Perlu pula ditegaskan bahwa yang dimaksud jabatan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa adalah jabatan fungsional, yaitu kelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu[3]. Dengan demikian penggunaan istilah “Pengelola Pengadaan Barang/Jasa” adalah jabatan fungsional meskipun tanpa tambahan atribut “fungsional”.

Pelaksana tugas Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan yang bukan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana Pasal 74B ayat (2) dan (3) yang telah diuraikan di atas adalah berbeda dengan yang dimaksud Personel Lainnya dalam Pasal 74A ayat (1) huruf b pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021. Personel Lainnya tidak wajib berstatus PNS. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 18b yang menjelaskan bahwa personel selain Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Personel Lainnya adalah Aparatur Sipil Negara, prajurit Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa. Personel Lainnya bertugas sebagai Pokja Pemilihan/Pejabat pengadaan pada Kementerian/Lembaga yang tidak wajib memiliki Pengelola Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana pada Pasal 74A ayat (4), yaitu dalam hal:

a.   nilai atau jumlah paket pengadaan di Kementerian/Lembaga tidak mencukupi untuk memenuhi pencapaian batas angka kredit minimum pertahun bagi Pengelola Pengadaan Barang/Jasa; atau

b.  Sumber Daya Pengelola Fungsi Pengadaan Barang/Jasa dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dengan adanya perubahan regulasi mengenai angka kredit setelah berlakunya Peraturan Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional, maka ketentuan pada huruf a di atas perlu dirumuskan kembali dalam perubahan peraturan untuk memberikan kepastian dalam penerapannya.

Rencana Aksi Pemenuhan Pengelola PBJ

Rencana Aksi Pemenuhan Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa adalah pedoman bagi Pejabat Pembina Kepegawaian di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pemenuhan kebutuhan Pengelola PBJ.

Pada Pasal 74B ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 ditekankan bahwa Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang wajib memiliki Pengelola Pengadaan Barang/Jasa menyusun rencana aksi pemenuhan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Ketentuan mengenai rencana aksi diatur dalam Peraturan LKPP Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan dan Pengelolaan Rencana Aksi Pemenuhan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan LKPP Nomor 8 Tahun 2022. Dijelaskan bahwa penyusunan dan pengelolaan Rencana Aksi Pemenuhan Pengelola PBJ bertujuan agar Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah segera memenuhi kebutuhan Pengelola PBJ.  

Penyusunan dan pengelolaan Rencana Aksi Pemenuhan Pengelola PBJ dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan Pengelola PBJ dari PNS dan/atau PPPK[4]. Pemenuhan Pengelola PBJ pada 31 Desember 2023 mencapai paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari Rekomendasi Kebutuhan yang diterbitkan oleh LKPP. Rekomendasi Kebutuhan JF PPBJ adalah surat yang diterbitkan oleh LKPP selaku Instansi Pembina JF PPBJ yang berisi rekomendasi besaran jumlah dan jenjang JF PPBJ yang dibutuhkan atas usulan yang disampaikan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah.

Pasca 31 Desember 2023 masih ada Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang belum memenuhi target 60% tersebut sehingga pada tanggal 15 Januari 2024, Kepala LKPP mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pemenuhan Kebutuhan Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa, Personel Lainnya Bersertifikat Kompetensi, dan Pejabat Pembuat Komitmen Bersertifikat Kompetensi Tahun 2024. Surat Edaran tersebut bertujuan untuk:

a. Memberikan penjelasan dan pengaturan bagi K/L/Pemda yang belum dapat memenuhi keterisian formasi JF PPBJ;

b. Memberikan penjelasan dan pengaturan bagi Personel Lainnya yang belum memiliki sertifikat kompetensi di bidang Pengadaan Barang/Jasa;

c. Memberikan penjelasan dan pengaturan bagi K/L/Pemda yang belum dapat memenuhi kebutuhan PPK sesuai kompetensi berdasarkan tipologinya;

d. Memberikan penjelasan mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Rencana Aksi Pemenuhan Kebutuhan JF PPBJ; dan

e. Memberikan penjelasan mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Rencana Aksi Pemenuhan PPK Bersertifikat Kompetensi.



[1] Peraturan Menteri PANRB Nomor 29 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa

[2] Peraturan BKN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembinaan Kepegawaian Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa

[3] Peraturan Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional

[4] Peraturan LKPP Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan LKPP Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan dan Pengelolaan Rencana Aksi Pemenuhan Pengelola Pengadaan Barang/Jasa