“Karena sejarah adalah pelajaran, maka tulislah gagasan yang bergentayangan di pikiranmu agar menjadi petilasan peradaban yang menyejarah. Entah yang dipelajari kekeliruannya agar dapat dievaluasi ataupun kebenarannya untuk dijadikan acuan” (Titah Sunyi dari dalam Toilet)
Ada 5 (lima) Bentuk
Kontrak yang dapat digunakan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai
Perpres No. 16 Tahun 2018. Penggunaannya sesuai dengan nilai kontrak, jenis
barang/jasa, metode
pemilihan penyedia dan/atau resiko
pekerjaan sesuai ketentuan peraturan perundangan. Kelima Bentuk Kontrak tersebut
adalah:
- Bukti pembelian/pembayaran
- Kuitansi
- Surat Perjanjian Kerja (SPK)
- Surat Perjanjian, dan
- Surat Pesanan
Sebelumnya, istilah yang digunakan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah Tanda Bukti Perjanjian untuk dokemen tersebut di atas. Dalam Perpres No. 54 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres No. 4 Tahun 2015, ketentuan penggunaan Tanda Bukti Perjanjian diatur pada Pasal 55. Tanda bukti perjanjian terdiri atas:
- Bukti pembelian digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa yang nilainya sampai dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
- Kuitansi digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa yang nilainya sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
- SPK digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan untuk Jasa Konsultansi dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
- Surat Perjanjian digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai diatas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan untuk Jasa Konsultansi dengan nilai diatas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
- Surat Pesanan digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa melalui E-Purchasing dan pembelian secara online.
Berdasarkan pembatasan tersebut, untuk Bukti Pembelian, Kuitansi dan SPK pada Pengadaan Barang dan Jasa Lainnya dapat digambar dengan grafik:
Grafiknya dibuat demikian karena tidak adanya nilai batas
bawah untuk masing-masing jenis tanda bukti perjanjian. Dengan demikian dapat
ditafsirkan bahwa tanda bukti perjanjian dengan nilai yang lebih tinggi dapat
digunakan untuk nilai di bawahnya. Penafsiran seperti ini bisa jadi hanya “spekulasi”, tetapi dalam prakteknya
ternyata benar dilakukan.
Misalnya SPK masih disyaratkan sebagai tanda bukti perjanjian untuk pengadaan barang di bawah Rp50.000.000. Hal ini biasanya dilakukan oleh verifikator keuangan untuk memproses pembayaran dengan mekanisme pembayaran langusng (LS). Mungkin verifikator mencari posisi aman dan menghindari temuan auditor sehingga digunakanlah SPK itu sebagai perisai dari kemungkinan cacat administrasi. Dalih yang biasanya digunakan adalah bahwa secara aturan memang tidak diperlukan SPK untuk pengadaan barang atau jasa lainnya dengan nilai di bawah Rp50.000.000, tetapi juga tidak melanggar aturan jika dibuatkan. Walaupun demikian, sangat disayangkan jika sesuatu yang sederhana dibuat menjadi rumit karena kekhawatiran yang berlebih.
Dalam Perpres No. 16 Tahun 2018, bentuk kontrak sudah lebih tegas diberikan batasan nilai pengadaan barang/jasa seperti disebutkan dalam Pasal 28 yang diabstraksikan pada tabel berikut:
Bentuk
Kontrak
|
Barang
|
Konstruksi
|
Jasa
Lainnya
|
Konsultansi
|
Bukti pembelian/pembayaran
|
≤ 10 juta
|
-
|
≤ 10 juta
|
-
|
Kuitansi
|
≤ 50 juta
|
-
|
≤ 50 juta
|
-
|
Surat Perjanjian Kerja (SPK)
|
> 50 juta s.d. 200 juta
|
≤ 200 juta
|
> 50 juta s.d. 200 juta
|
≤ 100 juta
|
Surat Perjanjian
|
> 200 juta
|
> 200 juta
|
> 200 juta
|
> 100 juta
|
Surat Pesanan
|
e-purchasing/pembelian melalui toko daring
|
-
|
Berdasarkan ketentuan ini, maka tidak ada lagi tumpang tindih pada batasan penggunaan bukti pembelian/pembayaran, kuitansi dan SPK.
Kehadiran Perpres No. 16 Tahun 2018 juga sudah lebih
memperjelas mengenai perbedaan penafsiran dokumen kontrak. Perubahan istilah
dari Tanda Bukti Perjanjian menjadi Bentuk Kontrak sudah cukup menghilangkan
makna yang agak samar, apakah bukti perjanjian adalah kontrak yang dimaksudkan
dalam salah satu syarat untuk memproses pembayaran.
Selanjutnya untuk bentuk kontrak, dalam Perpres No. 16
Pasal 28 ayat (7) disebutkan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung Kontrak, diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan/atau menteri yeng menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri."
Untuk bagian ini akan dibincang di lain waktu....., (padahal ngeles aja karena belum punya
bahan).
Tulisan ini hanya pendapat peribadi. Jika ada keliru,
langsung dikoreksi aja