06 Februari 2019

BUKTI PEMBELIAN, KUITANSI ATAU SPK?


“Karena sejarah adalah pelajaran, maka tulislah gagasan yang bergentayangan di pikiranmu agar menjadi petilasan peradaban yang menyejarah. Entah yang dipelajari kekeliruannya agar dapat dievaluasi ataupun kebenarannya  untuk dijadikan acuan” (Titah Sunyi dari dalam Toilet)

Ada 5 (lima) Bentuk Kontrak yang dapat digunakan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai Perpres No. 16 Tahun 2018. Penggunaannya sesuai dengan nilai kontrak, jenis barang/jasa, metode pemilihan penyedia dan/atau resiko pekerjaan sesuai ketentuan peraturan perundangan. Kelima Bentuk Kontrak tersebut adalah:
  1. Bukti pembelian/pembayaran
  2. Kuitansi
  3. Surat Perjanjian Kerja (SPK)
  4. Surat Perjanjian, dan
  5. Surat Pesanan
Sebelumnya, istilah yang digunakan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah Tanda Bukti Perjanjian untuk dokemen tersebut di atas. Dalam Perpres No. 54 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres No. 4 Tahun 2015, ketentuan penggunaan Tanda Bukti Perjanjian diatur pada Pasal 55. Tanda bukti perjanjian terdiri atas:
  1. Bukti pembelian digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa yang nilainya sampai dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
  2. Kuitansi digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa yang nilainya sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  3. SPK digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan untuk Jasa Konsultansi dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  4. Surat Perjanjian digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai diatas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan untuk Jasa Konsultansi dengan nilai diatas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  5. Surat Pesanan digunakan untuk Pengadaan Barang/Jasa melalui E-Purchasing dan pembelian secara online.
Berdasarkan pembatasan tersebut, untuk Bukti Pembelian, Kuitansi dan SPK pada Pengadaan Barang dan Jasa Lainnya dapat digambar dengan grafik:
Grafiknya dibuat demikian karena tidak adanya nilai batas bawah untuk masing-masing jenis tanda bukti perjanjian. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa tanda bukti perjanjian dengan nilai yang lebih tinggi dapat digunakan untuk nilai di bawahnya. Penafsiran seperti ini bisa jadi hanya “spekulasi”, tetapi dalam prakteknya ternyata benar dilakukan.

Misalnya SPK masih disyaratkan sebagai tanda bukti perjanjian untuk pengadaan barang di bawah Rp50.000.000. Hal ini biasanya dilakukan oleh verifikator keuangan untuk memproses pembayaran dengan mekanisme pembayaran langusng (LS). Mungkin verifikator  mencari posisi aman dan menghindari temuan auditor sehingga digunakanlah SPK itu sebagai perisai dari kemungkinan cacat administrasi. Dalih yang biasanya digunakan adalah bahwa secara aturan memang tidak diperlukan SPK untuk pengadaan barang atau jasa lainnya dengan nilai di bawah Rp50.000.000, tetapi juga tidak melanggar aturan jika dibuatkan. Walaupun demikian, sangat disayangkan jika sesuatu yang sederhana dibuat menjadi rumit karena kekhawatiran yang berlebih.

Dalam Perpres No. 16 Tahun 2018, bentuk kontrak sudah lebih tegas diberikan batasan nilai pengadaan barang/jasa seperti disebutkan dalam Pasal 28 yang diabstraksikan pada tabel berikut:


Bentuk Kontrak
Barang
Konstruksi
Jasa Lainnya
Konsultansi
Bukti pembelian/pembayaran
10 juta
-
10 juta
-
Kuitansi
50 juta
-
50 juta
-
Surat Perjanjian Kerja (SPK)
> 50 juta s.d. 200 juta
200 juta
> 50 juta s.d. 200 juta
100 juta
Surat Perjanjian
> 200 juta
> 200 juta
> 200 juta
> 100 juta
Surat Pesanan
e-purchasing/pembelian melalui toko daring
-

Berdasarkan ketentuan ini, maka tidak ada lagi tumpang tindih pada batasan penggunaan bukti pembelian/pembayaran, kuitansi dan SPK.

Kehadiran Perpres No. 16 Tahun 2018 juga sudah lebih memperjelas mengenai perbedaan penafsiran dokumen kontrak. Perubahan istilah dari Tanda Bukti Perjanjian menjadi Bentuk Kontrak sudah cukup menghilangkan makna yang agak samar, apakah bukti perjanjian adalah kontrak yang dimaksudkan dalam salah satu syarat untuk memproses pembayaran.

Selanjutnya untuk bentuk kontrak, dalam Perpres No. 16 Pasal 28 ayat (7) disebutkan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung Kontrak, diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan/atau menteri yeng menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri."
Untuk bagian ini akan dibincang di lain waktu....., (padahal ngeles aja karena belum punya bahan).
Tulisan ini hanya pendapat peribadi. Jika ada keliru, langsung dikoreksi aja

03 Februari 2019

SISA KEMAMPUAN NYATA (SKN)


Sisa Kemampuan Nyata (SKN) merupakan salah satu syarat kualifikasi penyedia barang/jasa untuk mengikuti tender pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya . Syarat ini mulai diberlakukan sejak Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Ketentuan tentang SKN diatur pada Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2018 sebagaimana telah diamanatkan pada pasal 91 ayat (1) huruf l Perpres Nomor 16 Tahun 2018.

Persyaratan SKN bagi penyedia barang/jasa turut menghangatkan dinamika pendapat  Pokja Pemilihan UKPBJ Kota Bontang sejak diberlakukannya Perpres Nomor 16 Tahun 2018. Hal ini tak terelakkan ketika membaca Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia yang ditetapkan dengan Peratuaran LKPP Nomor 9 Tahun 2018. Sesuai pedoman tersebut pada nomor 3.4.3 huruf a disebutkan sebagai berikut:
Untuk Penyedia Non Kecil harus memiliki kemampuan keuangan berupa Sisa Kemampuan Nyata (SKN) yang disertai dengan laporan keuangan. Kemampuan Nyata adalah kemampuan penuh/keseluruhan Peserta saat penilaian kualifikasi meliputi kemampuan keuangan dan kemampuan permodalan untuk melaksanakan paket pekerjaan yang sedang/akan dikerjakan. SKN dikecualikan untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Akar silang pendapat bermula dari frasa “Penyedia Non Kecil”dan kalimat “SKN dikecualikan untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil”. Dari akar permasalahan tersebut, maka pokok-pokok perbedaan pendapat dapat dirumuskan pada dua kutub berikut:
A.    Kutub pertama dengan poros pemikiran sebagai berikut:
  1.  SKN hanya menjadi persyaratan untuk penyedia non kecil,yaitu perusahaan dengan kualifikasi non kecil yang secara administratif dibuktikan dengan izin usaha yang dimiliki (SIUP, IUI, IUJK, SBU dan lain-lain);
  2. Jika mengikuti tender paket non kecil pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dengan nilai paket lebih dari Rp2.500.000.000, maka perusahaan kualifikasi kecil tidak wajib memenuhi syarat SKN;

B.     Kutub kedua dengan poros pemikiran sebagai berikut:
1.     Maksud dari “untuk penyedia non kecil” pada Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa melalui Penyedia adalah nilai paket pekerjaan yang diperuntukkan bagi penyedia non kecil.
2.     SKN tetap diwajibkan bagi penyedia kualifikasi kecil ketika mengikuti tender dengan nilai paket non kecil;

Dari dua kutub pendapat tersebut, masing-masing mempunyai implikasi terhadap hasil evaluasi kualifikasi yang menysaratkan SKN.

Implikasi kutub pertama:
Pada tender paket non kecil pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya, peserta dengan kualifikasi kecil tidak dapat digugurkan jika tidak memenuhi syarat SKN dan sebaliknya peserta kualifikasi non kecil jadi gugur. Misalkan pada suatu tender paket non kecil yang diikuti peserta kualifikasi usaha kecil dan non kecil dengan sketsa situasi seperti berikut:
Nama Peserta
Kualifikasi Usaha
Syarat SKN
Hasil Evaluasi
Perusahaan A
Non kecil
Tidak memenuhi
Gugur
Perusahaan B
Kecil
Tidak memenuhi
Lulus

Implikasi kutub kedua:
Pada tender paket non kecil pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya, peserta dengan kualifikasi kecil maupun non kecil jika tidak memenuhi syarat SKN, maka sama-sama gugur. Maka situasinya menjadi:
Nama Peserta
Kualifikasi Usaha
Syarat SKN
Hasil Evaluasi
Perusahaan A
Non kecil
Tidak memenuhi
Gugur
Perusahaan B
Kecil
Tidak memenuhi
Gugur

Jika mengikuti pendapat kutub pertama, apakah ini salah satu aplikasi dari dari Pasal 5 huruf g Perpres 16 Tahun 2018, yaitu memberikan kesempatan kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah? Lalu bagaimana jika mengacu pada prinsip pengadaan barang/jasa yang salah satunya adalah adil sebagaimana pada pasal 6 huruf f? Jika merujuk pada makna kata “adil” sebagai tidak memihak dan berpegang pada kebenaran, maka akal akan menilai bahwa pendapat pertama adalah kacau karena menerapkan standar ganda pada satu prinsip yang sama. Jika pendapat ini diterapkan dalam suatu evaluasi pemilihan penyedia barang/jasa, maka akan menjadi celah bagi peserta untuk mengajukan sanggah. Namun begitu, pendapat kedua juga potensial mengundang sanggah jika Penyedia Non Kecil atau Usaha Mikro dan Usaha Kecil dimaknai sebagai kualifikasi perusahaan.

Belum banyak pembahasan mengenai SKN di media online, tetapi masalah serupa pernah dibahas oleh Samsul Ramli di bolgnya mengenai syarat Kemampuan Dasar (KD). Akar permasalahannya juga  agak mirip. Kemampuan Dasar yang menjadi syarat penyedia barang/jasa diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 pasal 19 ayat (1) huruf h. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa salah satu syarat penyedia barang/jasa adalah memiliki Kemampuan Dasar (KD) untuk usaha non-kecil kecuali untuk Pengadaan Barang dan Jasa Konsultansi. Sekali lagi, di sini juga menggunakan frasa “usaha non-kecil”. Apakah yang dimaksudkan di sini adalah kualifikasi perusahaan atau klasifikasi paket pekerjaan? Tidak ada kewajiban untuk sependapat dengan Samsul Ramli, tetapi tidak ada salahnya mengikuti ulasannya di sini.

Dalam standar dokumen pemilihan untuk pekerjaan konstruksi yang dirilis oleh Kementerian PUPR melalui Peraturan Menteri PUPR Nomor 07/PRT/M/2019 tanggal 20 Maret 2019, kalusul tentang SKN dinyatakan sebagai berikut:
Memiliki Sisa Kemampuan Nyata (SKN) dengan nilai paling kurang sama dengan 10% (sepuluh perseratus) dari nilai total HPS, yang disertai dengan laporan keuangan (untuk pekerjaan yang diperuntukkan bagi Usaha Menengah dan Besar
Di sini diberikan keterangan “untuk pekerjaan yang diperuntukkan bagi Usaha Menengah dan Besar”. Jika keterangan ini diterima, maka sangat jelas yang dimaksudkan adalah klasifikasi paket pekerjaan. Bukan kualifikasi perusahaan. Artinya yang mengikat syarat SKN adalah klasifikasi paket pekerjaannya, dan apapun kualifikasi perusahaahn yang menjadi peserta, harus mememnuhi syarat paket pekerjaan yang diikutinya. Tetapi ini cuma standar dokumen yang bisa saja salah menafsirkan aturan yang ada. Seperti pula saya dan Anda bisa salah memahami penafsiran ini.

Sampai di sini, faham?
Mari berdiskusi, bukan ngotot tapi ngotak..........